Kamis, 18
Desember 2014
Bacaan Alkitab: Titus 1:5-6
“Yakni
orang-orang yang tak bercacat, yang mempunyai hanya satu isteri, yang
anak-anaknya hidup beriman dan tidak dapat dituduh karena hidup tidak senonoh
atau hidup tidak tertib.” (Tit 1:6)
Mempunyai Hanya Satu
Isteri
Mengenai pernikahan, kekristenan hanya
mengenal satu pasangan hingga maut memisahkan. Artinya seorang suami hanya
boleh memiliki satu isteri pada satu waktu, dan seorang isteri hanya boleh
memiliki satu suami pada satu waktu. Seorang suami boleh memiliki isteri lain
jika dan hanya jika isterinya meninggal dunia. Demikian pula dengan seorang isteri
boleh memiliki suami lain jika dan hanya jika suaminya meninggal dunia.
Kekristenan tidak mengenal kata cerai, karena di dalam Tuhan tidak ada
perceraian. Apa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan tidak dapat diceraikan oleh
manusia. Oleh karena itu, kekristenan sangat ketat mengatur tentang pernikahan.
Kekristenan tidak mengenal tentang poligami, poliandri, bahkan kata cerai sekalipun.
Dalam bacaan Alkitab kita hari ini, kita
berbicara tentang bagaimana Paulus menasehatkan Titus, anak rohaninya, mengenai
hal-hal yang harus ia atur sebagai pemimpin jemaat. Paulus menulis bahwa ia
meninggalkan Titus di Kreta dengan maksud dan tujuan untuk mengatur jemaat di
Kreta, serta menetapkan penatua-penatua di setiap kota, sebagaimana yang ia
telah pesankan kepada Titus (ay. 5).
Terkait dengan jabatan penatua, Paulus
memberikan suatu syarrat yang cukup ketat, yaitu tak bercacat, mempunyai hanya
satu isteri, mempunyai anak-anak yang hidup beriman, dan tidak dapat dituduh
karena hidup tidak senonoh atau tidak tertib (ay. 6). Saya tertarik untuk
menulis mengenai syarat “mempunyai hanya satu isteri”, karena dalam suratnya
kepada Timotius, Paulus juga menetapkan syarat yang sama untuk jabatan penilik
jemaat dan diaken (1 Tim 3:2 & 12).
Tentu syarat ini bukan berarti bahwa jemaat
Tuhan dan pelayan Tuhan selain penatua, penilik jemaat dan diaken boleh punya
lebih dari satu isteri. Setidaknya ada dua hal mengenai syarat mempunyai hanya
satu isteri ini.
Pertama, hal ini berbicara tentang suatu
syarat yang baru di dalam kekristenan. Sebelum orang-orang mengenal tentang
Kristus, mereka memiliki latar belakang yang bermacam-macam. Di masa kekaisaran
Romawi, sangat umum orang memiliki isteri lebih dari satu. Namun cukup banyak
juga orang-orang yang mengerti tentang esensi pernikahan sehingga mereka
memilih untuk hanya memiliki satu isteri. Paulus ingin menekankan tentang kudusnya
suatu pernikahan dari sudut pandang Tuhan, sehingga Paulus menginginkan para
pelayan Tuhan adalah orang-orang yang memang hanya memiliki satu isteri saja, bahkan
termasuk mereka yang sudah menikah sebelum mengenal Kristus. Paulus ingin
menjaga agar para penatua tidak dapat dituduh atau menjadi bahan omongan orang
lain karena mempunyai isteri lebih dari satu.
Tentu saja orang-orang yang sudah menjadi
Kristen sebelum mereka menikah, bagi mereka berlaku satu hukum yang universal yaitu
hanya boleh menikah satu kali hingga maut memisahkan mereka dengan pasangan
hidupnya. Oleh karena itu, ayat dalam Titus 1:6 tersebut harus dimaknai sesuai
konteksnya, yaitu lebih kepada bagaimana Titus memilih orang-orang yang akan
menjadi penatua, dan bukan alasan bahwa orang Kristen sesungguhnya boleh
memiliki isteri lebih dari satu.
Kedua, hal ini juga berarti bahwa orang-orang
yang menjadi penatua (dan juga penilik jemaat dan diaken seperti ditulis dalam
1 Tim 3:2 & 12), harus menjaga dirinya sehingga dalam kehidupannya ia hanya
boleh memiliki satu orang isteri. Bahkan
jika isterinya juga telah meninggal dunia sekalipun, ia diharapkan untuk tetap
melajang sehingga ia didapati tidak bercacat dan menghindarkan dirinya menjadi
bahan omongan orang lain. Ini memang penafsiran saya sendiri, tetapi saya
merasa bahwa memang sebaiknya (bukan seharusnya) seorang pelayan Tuhan (entah
sebagai penatua, penilik jemaat, dan diaken), terlebih seorang hamba Tuhan full
timer sebaiknya memiliki standar seperti ini.
Bayangkan jika seorang gembala sidang yang
mempunyai banyak jemaat, ditinggal mati isterinya, kemudian menikah lagi dan
ternyata isteri yang baru tidak mampu menjalankan perannya sebagai isteri
gembala yang baik, maka pernikahannya yang kedua justru dapat menjadi batu
sandungan. Alangkah baiknya jika gembala sidang tersebut tetap hidup melajang
sepanjang sisa hidupnya, dan saya yakin jemaat Tuhan akan sangat diberkati
dengan teladan dan harga yang telah dibayar oleh gembala sidang tersebut.
Karena poin kedua ini adalah penafsiran saya
secara pribadi, maka saya pun hanya menggunakan kata “sebaiknya”, karena ini
bukanlah suatu keharusan sebab Alkitab tidak mengatakan demikian dengan jelas. Namun
bagi para pelayan Tuhan, ayat ini perlu dipikirkan sungguh-sungguh dan dipegumulkan
dengan sungguh-sungguh pula. Tanyalah kepada Tuhan tentang apa yang harus kita
lakukan ketika kita suatu saat berada di posisi tersebut. Dan alangkah baiknya
jika kita tidak hanya mencari kepuasan dan kesenangan diri kita sendiri, tetapi
menjaga hidup kita agar kita tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain,
terlebih bagi jemaat yang kita layani.
Bacaan Alkitab: Titus 1:5-6
1:5 Aku telah
meninggalkan engkau di Kreta dengan maksud ini, supaya engkau mengatur apa yang
masih perlu diatur dan supaya engkau menetapkan penatua-penatua di setiap kota,
seperti yang telah kupesankan kepadamu,
1:6 yakni
orang-orang yang tak bercacat, yang mempunyai hanya satu isteri, yang
anak-anaknya hidup beriman dan tidak dapat dituduh karena hidup tidak senonoh
atau hidup tidak tertib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.