Kamis, 25 Desember 2014

Penyerahan Anak Bukan Berarti Melepaskan Tanggung Jawab Kita sebagai Orang Tua



Minggu, 28 Desember 2014
Bacaan Alkitab: Lukas 2:22-24, 39-40
Dan setelah selesai semua yang harus dilakukan menurut hukum Tuhan, kembalilah mereka ke kota kediamannya, yaitu kota Nazaret di Galilea. (Luk 2:39)


Penyerahan Anak Bukan Berarti Melepaskan Tanggung Jawab Kita sebagai Orang Tua


Suatu ketika ada seorang perempuan yang hamil di luar nikah akibat hubungan yang dilakukan orang yang tidak seiman. Oleh pendetanya, mereka dinikahkan di gereja dengan cara Kristen. Singkat cerita anak tersebut lahir dan sebagaimana tradisi gereja mereka, anak tersebut pada usia sekian bulan diserahkan kepada Tuhan oleh kedua orang tuanya. Seiring berjalannya waktu ternyata pernikahan mereka bermasalah hingga akhirnya mereka bercerai dan si anak diasuh oleh ayahnya (yang tidak seiman tadi). Ketika  beberapa orang bertanya mengapa si ibu tidak ngotot untuk mempertahankan anaknya untuk berada dalam asuhannya, dengan enteng si ibu berkata “Kan dulu saya sudah menyerahkan anak saya kepada Tuhan, berarti anak saya sekarang milik Tuhan. Jadi saya percaya bahwa walaupun dia dididik dengan cara non Kristen, Tuhan pasti akan menyelamatkan jiwa anak saya”.

Apa yang salah dari cerita saya di atas? Si ibu ternyata tidak memahami sepenuhnya makna dari penyerahan anak. Seperti judul renungan saya hari ini, yang mungkin adalah salah satu judul yang terpanjang dari renungan di website ini, saya ingin mengatakan bahwa penyerahan anak kepada Tuhan bukan berarti kita melepaskan tanggung jawab kita sebagai orang tua dan membiarkan si anak begitu saja, tetapi justru di balik makna penyerahan anak, ada suatu tanggung jawab besar bagi para orang tua yang menyerahkan anaknya kepada Tuhan.

Saya mengambil bacaan Alkitab kita dari Lukas 2, yaitu Firman Tuhan mengenai Yesus yang diserahkan oleh orang tuanya (Yusuf dan Maria) kepada Tuhan. Ada beberapa kebenaran Firman Tuhan yang perlu kita pahami sehingga kita tidak memiliki pandangan yang salah seperti si ibu dalam cerita saya di atas.

Pertama, setiap anak adalah milik Tuhan, sama seperti kita semua adalah milik Tuhan. Saya percaya bahwa ketika kita boleh memiliki anak, maka anak kita sebenarnya adalah milik Tuhan. Sama seperti hidup kita adalah milik Tuhan, dengan demikian, anak-anak kita juga adalah milik Tuhan yang dipercayakan kepada kita untuk kita didik sesuai Firman Tuhan. Oleh karena itu kita tidak boleh berpendapat bahwa kita punya hak penuh terhadap anak-anak kita. Pandangan yang salah tentang poin pertama ini membuat orang tua dapat bertindak sewenang-wenang kepada anak-anaknya, bahkan dapat melakukan tindakan ekstrem, seperti melakukan aborsi karena berpikir bahwa anak di dalam kandungan adalah miliknya sendiri dan ia punya hak untuk menentukan apa yang akan terjadi pada anaknya tersebut.

Kedua, penyerahan anak dimulai dari ajaran Yahudi, yang kemudian diteruskan di dalam Kekristenan (ay. 22-23). Penyerahan anak sudah dimulai sejak zaman Musa, dimana hal tersebut tertulis di kitab hukum Taurat. Bahkan untuk anak laki-laki sulung ada suatu ketentuan khusus yaitu dikuduskan bagi Tuhan, untuk mengingat bagaimana Tuhan menyelamatkan anak sulung bangsa Israel ketika  tulah ke-10 terjadi di Mesir. Adat ini kemudian diteruskan di dalam Kekristenan, karena dasar iman yang sama yaitu bahwa setiap anak memang milik Tuhan dan harus diserahkan kepada Tuhan (lihat poin pertama).

Ketiga, penyerahan anak merupakan suatu pemenuhan Firman Tuhan (ay. 24). Firman Tuhan yang mengatur mengenai penyerahan anak pada masa Yesus lahir sudah diatur dalam Kitab Taurat, antara lain dalam Keluaran 13 dan Imamat 12. Dengan diteruskannya ajaran mengenai penyerahan anak di dalam Kekristenan, maka hal tersebut pun juga menjadi suatu pemenuhan terhadap Firman Tuhan, meskipun sudah hampir ribuan tahun hingga saat ini. Saya percaya bahwa Firman Tuhan mengenai penyerahan anak ini masih berlaku hingga era modern saat ini.

Keempat, Tuhan Yesus sendiri memberikan teladan mengenai penyerahan anak (ay.22-24, Luk 18:15-17). Tuhan Yesus bukan saja diserahkan kepada Tuhan menurut hukum Taurat ketika ia masih kecil, tetapi ketika Tuhan Yesus sudah dewasa, ia pun tidak menolak anak-anak yang dibawa oleh orang tuanya kepada diriNya (Luk 18:15-17). Dalam segala kesibukan pelayananNya, Yesus memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk datang kepdaNya dan memberkati anak-anak tersebut. Oleh karena itu jika Tuhan Yesus sendiri saja tidak pernah menghalangi anak-anak untuk datang kepadaNya, siapa kita sehingga kita melarang orang-orang untuk menyerahkan anak-anak mereka kepada Tuhan?

Kelima, tanggung jawab orang tua tidak berkurang sedikitpun karena penyerahan anak kepada Tuhan (ay. 39-40). Ini adalah kebenaran paling penting dari kelima poin yang saya tulis pada renungan hari ini. Banyak orang berpikir sama seperti si ibu yang saya ceritakan di atas. Itu adalah suatu pemahaman yang sangat salah. Ketika Tuhan Yesus diserahkan kepada Tuhan di Yerusalem, setelah itu kedua orang tuanya tetap membawa Yesus kembali ke kota kediamannya di Nazaret dan tetap bertanggung jawab mendidik Yesus (ay. 39). Sebagai hasil dari tanggung jawab yang dilakukan oleh Yusuf dan Maria, Yesus tumbuh besar dan kuat, bahkan penuh akan hikmat dan kasih karunia Allah (ay. 40). Kondisi tersebut tidak akan terjadi apabila Yusuf dan Maria membiarkan begitu saja Yesus untuk bertumbuh sendirian.

Ketika Tuhan memberkati anak-anak yang dibawa orang tuanya kepadaNya, itu pun tidak berarti anak-anak tersebut ditinggalkan kepada Tuhan Yesus. Setelah menerima anak-anak itu dan memberkati mereka, anak-anak tersebut pun kembali kepada orang tua mereka masing-masing (Mat 19:13-15). Bahkan dalam contoh penyerahan anak “paling ekstrem” di Alkitab, yaitu ketika Hana menyerahkan Samuel kepada Tuhan dalam didikan Imam Eli, Hana tidak pernah melalaikan Samuel yang sudah diserahkan kepada Tuhan untuk menjadi pelayan Tuhan di Rumah Tuhan. Hana tetap melakukan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu, minimal dengan membawakan jubah bagi Samuel setiap tahun (1 Sam 2:18-19).

Sekali lagi saya katakan dengan tegas, penyerahan anak kepada Tuhan memang adalah suatu keharusan, sebagai tanda bahwa kita mengakui anak kita berasal dari Tuhan, dan agar Tuhan menjaga dan memiliki hidup anak-anak kita. Tetapi bukan berarti setelah itu tanggung jawab kita lepas begitu saja. Itu adalah suatu pemikiran yang sangat picik dan bodoh! Setelah menyerahkan anak kepada Tuhan, tanggung jawab kita sebagai orang tua tidak berkurang sedikitpun tetapi justru bertambah. Ya, tanggung jawab kita bertambah karena kita memiliki tanggung jawab untuk mendidiknya di dalam jalan Tuhan dengan segala kemampuan kita. Anak-anak yang telah diserahkan kepada Tuhan memang telah menjadi milik Tuhan, tetapi jika kita justru melalaikan tanggung jawab kita, dan membiarkan anak kita masuk kepada jurang kehancuran karena jiwanya tidak pernah mengerti tentang kebenaran Firman Tuhan, maka kita sendiri sebagai orang tua yang berdosa di hadapan Tuhan. Tuhan pasti akan meminta pertanggungjawaban kita atas setiap hal yang sudah berikan kepada kita, termasuk anak-anak kita yang Tuhan telah percayakan kepada kita.


Bacaan Alkitab: Lukas 2:22-24, 39-40
2:22 Dan ketika genap waktu pentahiran, menurut hukum Taurat Musa, mereka membawa Dia ke Yerusalem untuk menyerahkan-Nya kepada Tuhan,
2:23 seperti ada tertulis dalam hukum Tuhan: "Semua anak laki-laki sulung harus dikuduskan bagi Allah",
2:24 dan untuk mempersembahkan korban menurut apa yang difirmankan dalam hukum Tuhan, yaitu sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati.
2:39 Dan setelah selesai semua yang harus dilakukan menurut hukum Tuhan, kembalilah mereka ke kota kediamannya, yaitu kota Nazaret di Galilea.
2:40 Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.