Minggu, 28
Desember 2014
Bacaan Alkitab: Lukas 2:22-24,
39-40
Dan setelah
selesai semua yang harus dilakukan menurut hukum Tuhan, kembalilah mereka ke
kota kediamannya, yaitu kota Nazaret di Galilea. (Luk 2:39)
Penyerahan Anak
Bukan Berarti Melepaskan Tanggung Jawab Kita sebagai Orang Tua
Suatu ketika ada seorang perempuan yang hamil
di luar nikah akibat hubungan yang dilakukan orang yang tidak seiman. Oleh
pendetanya, mereka dinikahkan di gereja dengan cara Kristen. Singkat cerita
anak tersebut lahir dan sebagaimana tradisi gereja mereka, anak tersebut pada
usia sekian bulan diserahkan kepada Tuhan oleh kedua orang tuanya. Seiring
berjalannya waktu ternyata pernikahan mereka bermasalah hingga akhirnya mereka
bercerai dan si anak diasuh oleh ayahnya (yang tidak seiman tadi). Ketika beberapa orang bertanya mengapa si ibu tidak
ngotot untuk mempertahankan anaknya untuk berada dalam asuhannya, dengan enteng
si ibu berkata “Kan dulu saya sudah menyerahkan anak saya kepada Tuhan, berarti
anak saya sekarang milik Tuhan. Jadi saya percaya bahwa walaupun dia dididik
dengan cara non Kristen, Tuhan pasti akan menyelamatkan jiwa anak saya”.
Apa yang salah dari cerita saya di atas? Si
ibu ternyata tidak memahami sepenuhnya makna dari penyerahan anak. Seperti
judul renungan saya hari ini, yang mungkin adalah salah satu judul yang
terpanjang dari renungan di website ini, saya ingin mengatakan bahwa penyerahan
anak kepada Tuhan bukan berarti kita melepaskan tanggung jawab kita sebagai
orang tua dan membiarkan si anak begitu saja, tetapi justru di balik makna
penyerahan anak, ada suatu tanggung jawab besar bagi para orang tua yang
menyerahkan anaknya kepada Tuhan.
Saya mengambil bacaan Alkitab kita dari Lukas
2, yaitu Firman Tuhan mengenai Yesus yang diserahkan oleh orang tuanya (Yusuf
dan Maria) kepada Tuhan. Ada beberapa kebenaran Firman Tuhan yang perlu kita
pahami sehingga kita tidak memiliki pandangan yang salah seperti si ibu dalam
cerita saya di atas.
Pertama, setiap anak adalah milik Tuhan, sama
seperti kita semua adalah milik Tuhan. Saya percaya bahwa ketika kita boleh
memiliki anak, maka anak kita sebenarnya adalah milik Tuhan. Sama seperti hidup
kita adalah milik Tuhan, dengan demikian, anak-anak kita juga adalah milik
Tuhan yang dipercayakan kepada kita untuk kita didik sesuai Firman Tuhan. Oleh
karena itu kita tidak boleh berpendapat bahwa kita punya hak penuh terhadap
anak-anak kita. Pandangan yang salah tentang poin pertama ini membuat orang tua
dapat bertindak sewenang-wenang kepada anak-anaknya, bahkan dapat melakukan
tindakan ekstrem, seperti melakukan aborsi karena berpikir bahwa anak di dalam
kandungan adalah miliknya sendiri dan ia punya hak untuk menentukan apa yang
akan terjadi pada anaknya tersebut.
Kedua, penyerahan anak dimulai dari ajaran
Yahudi, yang kemudian diteruskan di dalam Kekristenan (ay. 22-23). Penyerahan anak
sudah dimulai sejak zaman Musa, dimana hal tersebut tertulis di kitab hukum
Taurat. Bahkan untuk anak laki-laki sulung ada suatu ketentuan khusus yaitu
dikuduskan bagi Tuhan, untuk mengingat bagaimana Tuhan menyelamatkan anak
sulung bangsa Israel ketika tulah ke-10
terjadi di Mesir. Adat ini kemudian diteruskan di dalam Kekristenan, karena
dasar iman yang sama yaitu bahwa setiap anak memang milik Tuhan dan harus
diserahkan kepada Tuhan (lihat poin pertama).
Ketiga, penyerahan anak merupakan suatu
pemenuhan Firman Tuhan (ay. 24). Firman Tuhan yang mengatur mengenai penyerahan
anak pada masa Yesus lahir sudah diatur dalam Kitab Taurat, antara lain dalam Keluaran
13 dan Imamat 12. Dengan diteruskannya ajaran mengenai penyerahan anak di dalam
Kekristenan, maka hal tersebut pun juga menjadi suatu pemenuhan terhadap Firman
Tuhan, meskipun sudah hampir ribuan tahun hingga saat ini. Saya percaya bahwa
Firman Tuhan mengenai penyerahan anak ini masih berlaku hingga era modern saat
ini.
Keempat, Tuhan Yesus sendiri memberikan
teladan mengenai penyerahan anak (ay.22-24, Luk 18:15-17). Tuhan Yesus bukan
saja diserahkan kepada Tuhan menurut hukum Taurat ketika ia masih kecil, tetapi
ketika Tuhan Yesus sudah dewasa, ia pun tidak menolak anak-anak yang dibawa
oleh orang tuanya kepada diriNya (Luk 18:15-17). Dalam segala kesibukan pelayananNya,
Yesus memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk datang kepdaNya dan
memberkati anak-anak tersebut. Oleh karena itu jika Tuhan Yesus sendiri saja
tidak pernah menghalangi anak-anak untuk datang kepadaNya, siapa kita sehingga
kita melarang orang-orang untuk menyerahkan anak-anak mereka kepada Tuhan?
Kelima, tanggung jawab orang tua tidak
berkurang sedikitpun karena penyerahan anak kepada Tuhan (ay. 39-40). Ini
adalah kebenaran paling penting dari kelima poin yang saya tulis pada renungan
hari ini. Banyak orang berpikir sama seperti si ibu yang saya ceritakan di
atas. Itu adalah suatu pemahaman yang sangat salah. Ketika Tuhan Yesus diserahkan
kepada Tuhan di Yerusalem, setelah itu kedua orang tuanya tetap membawa Yesus
kembali ke kota kediamannya di Nazaret dan tetap bertanggung jawab mendidik
Yesus (ay. 39). Sebagai hasil dari tanggung jawab yang dilakukan oleh Yusuf dan
Maria, Yesus tumbuh besar dan kuat, bahkan penuh akan hikmat dan kasih karunia
Allah (ay. 40). Kondisi tersebut tidak akan terjadi apabila Yusuf dan Maria
membiarkan begitu saja Yesus untuk bertumbuh sendirian.
Ketika Tuhan memberkati anak-anak yang dibawa
orang tuanya kepadaNya, itu pun tidak berarti anak-anak tersebut ditinggalkan
kepada Tuhan Yesus. Setelah menerima anak-anak itu dan memberkati mereka, anak-anak
tersebut pun kembali kepada orang tua mereka masing-masing (Mat 19:13-15).
Bahkan dalam contoh penyerahan anak “paling ekstrem” di Alkitab, yaitu ketika Hana
menyerahkan Samuel kepada Tuhan dalam didikan Imam Eli, Hana tidak pernah melalaikan
Samuel yang sudah diserahkan kepada Tuhan untuk menjadi pelayan Tuhan di Rumah
Tuhan. Hana tetap melakukan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu, minimal
dengan membawakan jubah bagi Samuel setiap tahun (1 Sam 2:18-19).
Sekali lagi saya katakan dengan tegas,
penyerahan anak kepada Tuhan memang adalah suatu keharusan, sebagai tanda bahwa
kita mengakui anak kita berasal dari Tuhan, dan agar Tuhan menjaga dan memiliki
hidup anak-anak kita. Tetapi bukan berarti setelah itu tanggung jawab kita
lepas begitu saja. Itu adalah suatu pemikiran yang sangat picik dan bodoh!
Setelah menyerahkan anak kepada Tuhan, tanggung jawab kita sebagai orang tua
tidak berkurang sedikitpun tetapi justru bertambah. Ya, tanggung jawab kita
bertambah karena kita memiliki tanggung jawab untuk mendidiknya di dalam jalan
Tuhan dengan segala kemampuan kita. Anak-anak yang telah diserahkan kepada Tuhan
memang telah menjadi milik Tuhan, tetapi jika kita justru melalaikan tanggung
jawab kita, dan membiarkan anak kita masuk kepada jurang kehancuran karena
jiwanya tidak pernah mengerti tentang kebenaran Firman Tuhan, maka kita sendiri
sebagai orang tua yang berdosa di hadapan Tuhan. Tuhan pasti akan meminta
pertanggungjawaban kita atas setiap hal yang sudah berikan kepada kita,
termasuk anak-anak kita yang Tuhan telah percayakan kepada kita.
Bacaan Alkitab: Lukas 2:22-24,
39-40
2:22 Dan ketika
genap waktu pentahiran, menurut hukum Taurat Musa, mereka membawa Dia ke
Yerusalem untuk menyerahkan-Nya kepada Tuhan,
2:23 seperti ada
tertulis dalam hukum Tuhan: "Semua anak laki-laki sulung harus dikuduskan
bagi Allah",
2:24 dan untuk
mempersembahkan korban menurut apa yang difirmankan dalam hukum Tuhan, yaitu
sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati.
2:39 Dan setelah
selesai semua yang harus dilakukan menurut hukum Tuhan, kembalilah mereka ke
kota kediamannya, yaitu kota Nazaret di Galilea.
2:40 Anak itu
bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.