Sabtu, 18 November 2017

Anjing dan Babi dalam Alkitab (28): Seperti Anjing Kembali ke Muntahnya



Senin, 20 November 2017
Bacaan Alkitab: Amsal 26:7-11
Seperti anjing kembali ke muntahnya, demikianlah orang bebal yang mengulangi kebodohannya. (Ams 26:11)


Anjing dan Babi dalam Alkitab (28): Seperti Anjing Kembali ke Muntahnya


Bagian pertama dari kitab Amsal di pasal 26 ini memuat kata orang bebal dalam setiap ayatnya. Tentu penulis amsal ingin membandingkan antara orang yang bebal dengan orang yang benar. Apakah definisi orang bebal itu? Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan bebal sebagai “sukar mengerti, tidak cepat menanggapi sesuatu (tidak tajam pikiran), bodoh”. Sementara itu kata bebal yang digunakan di Amsal pasal 26 ini dalam bahasa aslinya adalah כְּסִיל (kesil) yang dapat berarti “stupid fellow, dullard, fool”. Dalam bahasa Indonesia, ketiga kata tersebut dapat diartikan sebagai orang yang bodoh. Namun kata “dullard” juga dapat diartikan sebagai orang yang lamban, dan kata “fool” juga dapat diartikan sebagai orang yang menipu atau mengelabuhi.

Dari ayat 1, pasal ini mengemukakan sifat-sifat dari orang bebal dan bagaimana kita harus bersikap terhadap orang bebal. Memang kita tidak membahas dari ayat 1 tetapi langsung ke ayat 7 saja untuk meringkas renungan ini. Orang bebal bukanlah orang yang bodoh karena IQ-nya rendah atau berpendidikan rendah. Justru orang bebal ini bisa jadi adalah orang yang pintar, mungkin dengan gelar S-1, S-2, bahkan S-3, tetapi kelakuannya justru berlawanan dengan tingkat pendidikan yang dimilikinya. Alkitab bahkan jelas menulis bahwa orang bebal pun bisa memiliki amsal di mulutnya (ay. 7a). Ini artinya orang bebal itu juga bisa menulis atau mengucapkan kata-kata yang terlihat bijak. Namun sebenarnya kata-kata bijak atau amsal tersebut ibarat kaki yang dimiliki oleh orang lumpuh, artinya tidak dapat dipergunakan sebagaimana mestinya (ay. 7b). Jadi meskipun orang yang lumpuh mempunyai kaki, tetapi kaki tersebut hanya akan menjadi semacam “hiasan” tanpa fungsi. Demikian pula amsal-amsal yang diucapkan oleh orang bebal itu hanya semacam pemanis saja tanpa dampak yang berarti.

Sayangnya, ada saja orang-orang yang merasa kagum dengan ucapan-ucapan orang bebal. Mereka bahkan mengagung-agungkan orang bebal tersebut karena memiliki amsal-amsal yang indah (ay. 8b). Tidak jarang mereka menghormati si orang bebal bahkan mengangkatnya melebihi orang-orang lain. Padahal orang yang benar tentu dapat membedakan manakah ucapan yang benar dan manakah amsal yang palsu. Tetapi orang-orang yang telah dibutakan mata hatinya tidak dapat melihat hal ini. Mereka justru menyanjung orang bebal setinggi langit bahkan memberi kehormatan kepada orang bebal tersebut. Itu sama saja dengan tindakan bunuh diri seperti menaruh batu di umban yang kemudian ternyata mengenai diri sendiri (ay. 8a).

Amsal di mulut orang bebal itu ibarat duri yang menusuk tangan si pemabuk (ay. 9). Orang-orang yang sedang mabuk tentu tidak sadar bahwa ucapan-ucapan orang bebal itu manis tetapi mematikan. Hanya orang-orang yang sadar dan tidak tidur yang tahu betapa duri bisa membahayakan jika menusuk tangannya. Oleh karena itu kita harus senantiasa bangun dan berjaga-jaga. Jangan sampai kita tertidur dan kemudian dininabobokan oleh ucapan orang bebal tersebut. Amsal yang benar pasti membangun orang kepada karakter ilahi. Amsal yang benar tidak menjilat dan menyanjung orang yang salah. Amsal yang benar pasti menegor kesalahan dan pasti menyakitkan bagi orang-orang berdosa. Oleh sebab itu kita perlu melatih telinga kita supaya tidak tertipu dengan ucapan-ucapan manis yang ujungnya justru akan mencelakakan kita.

Bahkan lebih lanjut, penulis amsal ini mengemukakan bahwa siapa yang mempekerjakan orang bebal dan orang-orang yang lewat itu ibarat pemanah yang melukai tiap orang (ay. 10). Ini berarti kita tidak boleh sembarangan menilai orang apalagi menilai semua orang adalah sama. Ibarat seorang tuan yang mencari pekerja, apakah mungkin kita sembarangan memilih karyawan di perusahaan kita? Tentu mereka harus dites dan diuji dulu sebelum dipercaya melakukan sesuatu yang penting. Memang kita tidak boleh menghakimi, tetapi kita harus berani untuk menguji dan menilai. Menghakimi secara sederhana adalah tahap menguji dan menilai sampai menjatuhkan hukuman kepada mereka. Kita tidak perlu menghakimi, tetapi kita berhak untuk menguji dan menilai. Jika memang hasil ujian dan nilai seseorang tidak sesuai dengan standar kita, kita berhak untuk menjaga jarak dengan orang tersebut. Karena jika kita sembarangan dalam memberi kesempatan kepada orang bebal tanpa mempertimbangkan risikonya, justru hal tersebut akan menjadi malapetaka bagi kita dan orang lain.

Sebagai contoh, jika ada seorang yang dikenal bebal, tidak mau diatur, masih suka hidup dalam dosa, tetapi memang ia memiliki talenta di bidang pelayanan, apakah gembala sidang atau pendeta harus memberikan kesempatan kepada orang bebal tersebut? Dalam hal ini kita harus bersikap bijaksana. Tentu orang bebal itu harus diberi kesempatan tetapi di sisi lain pendeta harus mendampingi dan mengarahkan. Betapa bahayanya jika karena faktor kedekatan saja maka orang yang bebal itu langsung diberikan jabatan wakil gembala sidang tanpa diuji terlebih dahulu dari hal-hal kecil dan sederhana. Mungkin sang pemimpin merasa memiliki hak prerogatif memilih orang-orang yang terlibat dalam pelayanan di gereja. Namun jika orang bebal dipekerjakan tanpa meminta hikmat dari Tuhan, apalagi jika langsung diberikan posisi yang tinggi dan terhormat, maka hal tersebut dapat menjadi bumerang baginya.

Salah satu ciri orang bebal yang akan kita bahas hari ini diilustrasikan dengan menggunakan binatang anjing. Sebagaimana telah kita bahas di atas, orang bebal bukanlah orang yang bodoh atau memiliki IQ rendah, akan tetapi adalah mereka yang terus menerus mengulangi kebodohannya tanpa mau mendengarkan nasehat dan tidak mau memperbaiki diri (ay. 11b). Kita paham bahwa semua manusia pasti pernah berbuat kesalahan. Namun jika kesalahan demi kesalahan terus dilakukan tanpa adanya niat untuk mau berubah, itu menunjukkan kebebalan seseorang sehingga ia pantas disebut sebagai orang bebal.

Oleh karena itulah digunakan istilah “anjing yang kembali ke muntahnya” (ay. 11a). Saya sendiri tidak pernah memiliki binatang peliharaan anjing sehingga saya tidak tahu apakah memang anjing kembali ke muntahannya. Namun anjing sendiri dipandang sebagai binatang yang haram dan najis. Muntahan pun adalah sesuatu yang kotor dan menjijikkan, jadi muntahan anjing itu menggambarkan sesuatu yang kotor, menjijikkan, bahkan najis, dan itulah dosa-dosa di hadapan Tuhan. Orang bisa berdosa lalu bertobat dan minta ampun kepada Tuhan. Setelah bertobat pun, tidak menutup kemungkinan orang tersebut dapat berdosa lagi dan meminta ampun lagi kepada Tuhan dan terus menerus demikian. Tetapi orang bebal adalah orang yang sudah menikmati dosa-dosanya dan tidak memiliki niat untuk meninggalkan dosa-dosanya. Ia bisa saja berkata di depan orang banyak, “aku sudah bertobat, aku sudah berusaha menjadi lebih baik lagi”, tetapi sebenarnya kata-kata yang diucapkannya tersebut hanyalah bualan belaka. Ingat ayat di atas yang berkata bahwa di mulut orang bebal pun bisa terdapat “amsal” (walaupun sebenarnya adalah amsal yang palsu)? Oleh karena itu kita perlu berhati-hati terhadap orang bebal supaya kita tidak sampai ditipu olehnya.

Jika ada orang yang pernah meminjam uang kepada kita namun tidak pernah mengembalikan, tentu kita akan berhati-hati dalam meminjamkan uang lagi kepada orang tersebut. Misal orang tersebut berkali-kali meminjam Rp100 ribu tetapi ternyata tidak mau mengembalikan, tentu kalaupun meminjam lagi mungkin kita hanya akan memberi pinjaman maksimal sebesar Rp100 ribu pula. Tidak mungkin jika orang tersebut tidak pernah membayar pinjaman Rp100 ribunya dan terus menerus meminjam lagi, kemudian ia meminjam uang Rp10 juta dan kita berikan begitu saja. Ini adalah contoh bagaimana kita harus bersikap terhadap orang bebal supaya kita tidak salah mengambil keputusan. Berikan kesempatan pertobatan dari hal-hal kecil. Jika memang waktu membuktikan kesetiaan dan pertobatannya, barulah percayakan hal-hal yang lebih besar lagi kepadanya. Namun jika dalam hal kecil yang dipercayakan ternyata ia mengkhianati kepercayaan kita, maka tepatlah peribahasa tersebut: “seperti anjing kembali ke muntahnya, demikianlah orang bebal yang mengulangi kebodohannya”.




Bacaan Alkitab: Amsal 26:7-11
26:7 Amsal di mulut orang bebal adalah seperti kaki yang terkulai dari pada orang yang lumpuh.
26:8 Seperti orang menaruh batu di umban, demikianlah orang yang memberi hormat kepada orang bebal.
26:9 Amsal di mulut orang bebal adalah seperti duri yang menusuk tangan pemabuk.
26:10 Siapa mempekerjakan orang bebal dan orang-orang yang lewat adalah seperti pemanah yang melukai tiap orang.
26:11 Seperti anjing kembali ke muntahnya, demikianlah orang bebal yang mengulangi kebodohannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.