Senin, 20 November 2017
Bacaan
Alkitab: Amsal 26:7-11
Seperti anjing kembali ke muntahnya, demikianlah orang bebal yang
mengulangi kebodohannya. (Ams 26:11)
Anjing dan Babi dalam Alkitab (28): Seperti Anjing
Kembali ke Muntahnya
Bagian pertama dari kitab Amsal di pasal
26 ini memuat kata orang bebal dalam setiap ayatnya. Tentu penulis amsal ingin
membandingkan antara orang yang bebal dengan orang yang benar. Apakah definisi
orang bebal itu? Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan bebal sebagai “sukar
mengerti, tidak cepat menanggapi sesuatu (tidak tajam pikiran), bodoh”.
Sementara itu kata bebal yang digunakan di Amsal pasal 26 ini dalam bahasa
aslinya adalah כְּסִיל (kesil) yang dapat berarti “stupid fellow, dullard, fool”. Dalam
bahasa Indonesia, ketiga kata tersebut dapat diartikan sebagai orang yang
bodoh. Namun kata “dullard” juga dapat
diartikan sebagai orang yang lamban, dan kata “fool” juga dapat diartikan sebagai orang yang menipu atau
mengelabuhi.
Dari ayat 1, pasal ini mengemukakan
sifat-sifat dari orang bebal dan bagaimana kita harus bersikap terhadap orang
bebal. Memang kita tidak membahas dari ayat 1 tetapi langsung ke ayat 7 saja
untuk meringkas renungan ini. Orang bebal bukanlah orang yang bodoh karena
IQ-nya rendah atau berpendidikan rendah. Justru orang bebal ini bisa jadi
adalah orang yang pintar, mungkin dengan gelar S-1, S-2, bahkan S-3, tetapi
kelakuannya justru berlawanan dengan tingkat pendidikan yang dimilikinya. Alkitab
bahkan jelas menulis bahwa orang bebal pun bisa memiliki amsal di mulutnya (ay.
7a). Ini artinya orang bebal itu juga bisa menulis atau mengucapkan kata-kata
yang terlihat bijak. Namun sebenarnya kata-kata bijak atau amsal tersebut
ibarat kaki yang dimiliki oleh orang lumpuh, artinya tidak dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya (ay. 7b). Jadi meskipun orang yang lumpuh mempunyai kaki, tetapi
kaki tersebut hanya akan menjadi semacam “hiasan” tanpa fungsi. Demikian pula
amsal-amsal yang diucapkan oleh orang bebal itu hanya semacam pemanis saja
tanpa dampak yang berarti.
Sayangnya, ada saja orang-orang yang
merasa kagum dengan ucapan-ucapan orang bebal. Mereka bahkan mengagung-agungkan
orang bebal tersebut karena memiliki amsal-amsal yang indah (ay. 8b). Tidak
jarang mereka menghormati si orang bebal bahkan mengangkatnya melebihi orang-orang
lain. Padahal orang yang benar tentu dapat membedakan manakah ucapan yang benar
dan manakah amsal yang palsu. Tetapi orang-orang yang telah dibutakan mata
hatinya tidak dapat melihat hal ini. Mereka justru menyanjung orang bebal
setinggi langit bahkan memberi kehormatan kepada orang bebal tersebut. Itu sama
saja dengan tindakan bunuh diri seperti menaruh batu di umban yang kemudian
ternyata mengenai diri sendiri (ay. 8a).
Amsal di mulut orang bebal itu ibarat
duri yang menusuk tangan si pemabuk (ay. 9). Orang-orang yang sedang mabuk
tentu tidak sadar bahwa ucapan-ucapan orang bebal itu manis tetapi mematikan. Hanya
orang-orang yang sadar dan tidak tidur yang tahu betapa duri bisa membahayakan
jika menusuk tangannya. Oleh karena itu kita harus senantiasa bangun dan
berjaga-jaga. Jangan sampai kita tertidur dan kemudian dininabobokan oleh
ucapan orang bebal tersebut. Amsal yang benar pasti membangun orang kepada
karakter ilahi. Amsal yang benar tidak menjilat dan menyanjung orang yang
salah. Amsal yang benar pasti menegor kesalahan dan pasti menyakitkan bagi
orang-orang berdosa. Oleh sebab itu kita perlu melatih telinga kita supaya
tidak tertipu dengan ucapan-ucapan manis yang ujungnya justru akan mencelakakan
kita.
Bahkan lebih lanjut, penulis amsal ini
mengemukakan bahwa siapa yang mempekerjakan orang bebal dan orang-orang yang
lewat itu ibarat pemanah yang melukai tiap orang (ay. 10). Ini berarti kita
tidak boleh sembarangan menilai orang apalagi menilai semua orang adalah sama. Ibarat
seorang tuan yang mencari pekerja, apakah mungkin kita sembarangan memilih
karyawan di perusahaan kita? Tentu mereka harus dites dan diuji dulu sebelum
dipercaya melakukan sesuatu yang penting. Memang kita tidak boleh menghakimi,
tetapi kita harus berani untuk menguji dan menilai. Menghakimi secara sederhana
adalah tahap menguji dan menilai sampai menjatuhkan hukuman kepada mereka. Kita
tidak perlu menghakimi, tetapi kita berhak untuk menguji dan menilai. Jika
memang hasil ujian dan nilai seseorang tidak sesuai dengan standar kita, kita
berhak untuk menjaga jarak dengan orang tersebut. Karena jika kita sembarangan
dalam memberi kesempatan kepada orang bebal tanpa mempertimbangkan risikonya,
justru hal tersebut akan menjadi malapetaka bagi kita dan orang lain.
Sebagai contoh, jika ada seorang yang
dikenal bebal, tidak mau diatur, masih suka hidup dalam dosa, tetapi memang ia
memiliki talenta di bidang pelayanan, apakah gembala sidang atau pendeta harus
memberikan kesempatan kepada orang bebal tersebut? Dalam hal ini kita harus
bersikap bijaksana. Tentu orang bebal itu harus diberi kesempatan tetapi di
sisi lain pendeta harus mendampingi dan mengarahkan. Betapa bahayanya jika
karena faktor kedekatan saja maka orang yang bebal itu langsung diberikan
jabatan wakil gembala sidang tanpa diuji terlebih dahulu dari hal-hal kecil dan
sederhana. Mungkin sang pemimpin merasa memiliki hak prerogatif memilih
orang-orang yang terlibat dalam pelayanan di gereja. Namun jika orang bebal
dipekerjakan tanpa meminta hikmat dari Tuhan, apalagi jika langsung diberikan
posisi yang tinggi dan terhormat, maka hal tersebut dapat menjadi bumerang
baginya.
Salah satu ciri orang bebal yang akan
kita bahas hari ini diilustrasikan dengan menggunakan binatang anjing. Sebagaimana
telah kita bahas di atas, orang bebal bukanlah orang yang bodoh atau memiliki IQ
rendah, akan tetapi adalah mereka yang terus menerus mengulangi kebodohannya
tanpa mau mendengarkan nasehat dan tidak mau memperbaiki diri (ay. 11b). Kita
paham bahwa semua manusia pasti pernah berbuat kesalahan. Namun jika kesalahan
demi kesalahan terus dilakukan tanpa adanya niat untuk mau berubah, itu
menunjukkan kebebalan seseorang sehingga ia pantas disebut sebagai orang bebal.
Oleh karena itulah digunakan istilah “anjing
yang kembali ke muntahnya” (ay. 11a). Saya sendiri tidak pernah memiliki
binatang peliharaan anjing sehingga saya tidak tahu apakah memang anjing
kembali ke muntahannya. Namun anjing sendiri dipandang sebagai binatang yang
haram dan najis. Muntahan pun adalah sesuatu yang kotor dan menjijikkan, jadi
muntahan anjing itu menggambarkan sesuatu yang kotor, menjijikkan, bahkan
najis, dan itulah dosa-dosa di hadapan Tuhan. Orang bisa berdosa lalu bertobat
dan minta ampun kepada Tuhan. Setelah bertobat pun, tidak menutup kemungkinan
orang tersebut dapat berdosa lagi dan meminta ampun lagi kepada Tuhan dan terus
menerus demikian. Tetapi orang bebal adalah orang yang sudah menikmati dosa-dosanya
dan tidak memiliki niat untuk meninggalkan dosa-dosanya. Ia bisa saja berkata
di depan orang banyak, “aku sudah bertobat, aku sudah berusaha menjadi lebih
baik lagi”, tetapi sebenarnya kata-kata yang diucapkannya tersebut hanyalah
bualan belaka. Ingat ayat di atas yang berkata bahwa di mulut orang bebal pun
bisa terdapat “amsal” (walaupun sebenarnya adalah amsal yang palsu)? Oleh
karena itu kita perlu berhati-hati terhadap orang bebal supaya kita tidak
sampai ditipu olehnya.
Jika ada orang yang pernah meminjam
uang kepada kita namun tidak pernah mengembalikan, tentu kita akan berhati-hati
dalam meminjamkan uang lagi kepada orang tersebut. Misal orang tersebut berkali-kali
meminjam Rp100 ribu tetapi ternyata tidak mau mengembalikan, tentu kalaupun
meminjam lagi mungkin kita hanya akan memberi pinjaman maksimal sebesar Rp100
ribu pula. Tidak mungkin jika orang tersebut tidak pernah membayar pinjaman
Rp100 ribunya dan terus menerus meminjam lagi, kemudian ia meminjam uang Rp10
juta dan kita berikan begitu saja. Ini adalah contoh bagaimana kita harus
bersikap terhadap orang bebal supaya kita tidak salah mengambil keputusan.
Berikan kesempatan pertobatan dari hal-hal kecil. Jika memang waktu membuktikan
kesetiaan dan pertobatannya, barulah percayakan hal-hal yang lebih besar lagi
kepadanya. Namun jika dalam hal kecil yang dipercayakan ternyata ia
mengkhianati kepercayaan kita, maka tepatlah peribahasa tersebut: “seperti anjing
kembali ke muntahnya, demikianlah orang bebal yang mengulangi kebodohannya”.
Bacaan
Alkitab: Amsal 26:7-11
26:7 Amsal di mulut orang bebal adalah seperti kaki yang terkulai dari pada
orang yang lumpuh.
26:8 Seperti orang menaruh batu di umban, demikianlah orang yang memberi
hormat kepada orang bebal.
26:9 Amsal di mulut orang bebal adalah seperti duri yang menusuk tangan
pemabuk.
26:10 Siapa mempekerjakan orang bebal dan orang-orang yang lewat adalah
seperti pemanah yang melukai tiap orang.
26:11 Seperti anjing kembali ke muntahnya, demikianlah orang bebal yang
mengulangi kebodohannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.