Rabu, 31 Januari 2018
Bacaan
Alkitab: 1 Korintus 13:1-7
Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan
menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih,
sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku. (1 Kor 13:3)
Apakah Kasih Itu?
Bicara tentang kasih, maka hal ini
seakan-akan menjadi suatu hal yang umum dan biasa dalam kekristenan. Sejak
kecil kita sudah diajarkan mengenai definisi kasih seperti yang telah
dituliskan di dalam 1 Korintus pasal 13 ini: Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak
memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan
tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan
kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena
kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan
segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu (ay. 4-8). Bahkan ketika
saya menikah di gereja, pendeta di gereja saya meminta saya dan istri saya berlutut
di depan altar, kedua tangan kami sama-sama diletakkan di atas Alkitab yang
dibuka pada pasal 13 dari kitab 1 Korintus ini, lalu pendeta tersebut mendoakan
kami berdua dalam pemberkatan nikah yang kudus.
Ya memang benar bahwa kasih itu sabar,
murah hati, tidak cemburu, dan seterusnya. Definisi ini terlihat sudah sangat lengkap
dan menjadi semacam definisi acuan bagi orang Kristen. Apalagi jika dihubungkan
dengan kasih Tuhan atau kasih Allah, atau definisi bahwa Allah adalah kasih.
Orang Kristen pun diajarkan untuk menunjukkan kasih bahkan kepada musuh kita,
sehingga kita tidak boleh membalas orang yang melakukan kejahatan terhadap
kita. Kira-kira begitulah gambaran mengenai kasih yang selama ini dipahami oleh
sebagian besar orang Kristen.
Saya sendiri tidak menentang Paulus dan
mengatakan bahwa definisi Paulus ini salah. Saya juga menyetujui bahwa kasih
itu sabar, murah hati, tidak cemburu, dan seterusnya sebagaimana yang ditulis
oleh Paulus. Saya juga tidak akan membahas definisi dari masing-masing kata
(sabar, murah hati, tidak cemburu, dan lain-lain) secara mendalam. Saya hanya
akan mengajak para pembaca untuk melihat definisi kasih secara sedikit lebih
luas dengan melihat ayat-ayat sebelumnya (yaitu ayat 1 s.d. 3).
Dalam ayat 4 s.d. 7, kita mengerti
bahwa kasih itu sabar, murah hati, tidak cemburu, dan sebagainya. Mari kita
melihat apa-apa saja yang ditulis dalam ayat-ayat sebelumnya, yaitu ayat 1 s.d.
3. Dalam ayat 1 Paulus menulis bahwa sekalipun ia dapat berkata-kata dengan
semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika ia tidak memiliki kasih,
maka ia sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing (ay.1).
Paulus adalah salah satu manusia yang sangat cerdas, sehingga ia dapat dipakai
Tuhan untuk menulis berbagai surat-surat yang menjadi dasar iman Kristen dalam
Perjanjian Baru. Tentu bukan perkara sulit jika ia juga telah menguasai bahasa-bahasa
lain selain bahasa Ibrani maupun bahasa Yunani.
Tetapi Paulus berkata bahwa sekalipun
ia dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia (dan juga menguasai bahasa
malaikat), maka semua itu tidak akan berguna jika ia tidak memiliki kasih.
Kasih apakah yang dimaksud di sini? Kasih di sini bisa menunjuk pada karakter
yang penuh kasih (misal: kesabaran, kelemahlembutan, dan lain sebagainya).
Namun karena konteks ayat 1 ini berkata bahwa penguasaan semua bahasa manusia
dan bahasa malaikat itu sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang
gemerincing (yang menunjuk pada benda yang mengeluarkan bunyi tetapi tanpa arti),
maka bisa jadi kasih yang dimaksud di ayat 1 ini berbicara tentang kasih yang
tidak mencari keuntungan diri sendiri tetapi harus mencari keuntungan orang
lain.
Sekilas memang terlihat seperti itu. Namun
demikian, saya mengajak para pembaca renungan ini untuk menjadi lebih cerdas
dan tidak terlalu terpaku pada definisi di ayat 4 s.d. 7 tersebut. Oleh karena
itu kita perlu melihat ayat 2 dan ayat 3 untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
lengkap dan komprehensif mengenai apakah kasih itu.
Dalam ayat 2 Paulus menambahkan bahwa
sekalipun ia mempunyai karunia untuk bernubuat, mengetahui segala rahasia,
memiliki seluruh pengetahuan, memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan
gunung, tetapi tanpa kasih, ia sama sekali tidak berguna (ay. 2). Jika pada
ayat 1 Paulus menulis mengenai kondisi dimana ia memilki kemampuan berbahasa
yang luar biasa (dan bisa jadi menjadi sangat terhormat di pandangan manusia), maka
di ayat 2 ini Paulus menunjukkan bahwa ia bisa saja memiliki segala macam
karunia roh (antara lain bernubuat, membuat mujizat yaitu iman yang memindahkan
gunung, dan lain sebagainya), tetapi ia bisa tidak mempunyai kasih.
Hal ini akan membuat sebagian pembaca
Alkitab menjadi bingung. Karena Paulus menyebutkan sejumlah karunia roh tetapi di
sisi lain justru menyatakan bahwa karunia roh itu bisa dimiliki tanpa buah roh
yaitu tanpa adanya kasih. Bukankah ini menjadi sebuah hal yang aneh dan sukar
dijelaskan? Bagaimana bisa seseorang punya iman untuk memindahkan gunung dan
bahkan bernubuat tetapi tidak punya kasih? Apakah karunia roh dapat terpisah
dengan buah roh? Apakah kasih yang dimaksud di dalam ayat ini?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut,
mari kita melihat ayat 3. Dalam ayat ini Paulus menulis bahwa sekalipun ia
membagi-bagikan segala sesuatu yang ia punya dan bahkan menyerahkan tubuhnya
untuk dibakar (atau menyerahkan tubuhnya untuk mati), tetapi jika ia tidak
mempunyai kasih, maka sedikitpun tidak ada faedahnya bagi dirinya (ay. 3).
Bayangkan jika ada seseorang yang menjual seluruh miliknya atau seluruh
hartanya, bukankah itu gambaran dari seseorang yang murah hati? Bayangkan jika
ada seseorang yang menyerahkan tubuhnya dan rela mati dengan cara dibakar,
bukankah itu gambaran dari seseorang yang sabar dan yang tidak mencari
keuntungan diri sendiri? Lalu mengapa Paulus menulis bahwa ada orang-orang yang
melakukannya tetapi tidak mempunyai kasih? Apakah kasih itu?
Dalam hal ini, kita harus mencoba
melihat bahwa kasih tidak hanya sekedar sabar, murah hati, tidak cemburu, dan
lain sebagainya. Jika ayat lain dalam Alkitab menulis bahwa Allah adalah kasih
(1 Yoh 4:8), maka tentu kasih yang dimaksud ini adalah kasih yang dimiliki oleh
Allah itu sendiri. Dalam hal ini, saya harus tegas mengaatakan bahwa seseorang
bisa saja sabar, tetapi ia tidak memiliki kasih. Seseorang bisa saja tidak
cemburu, tetapi ia tidak memiliki kasih. Seseorang bisa saja tidak sombong,
tetapi ia tidak memiliki kasih. Sebaliknya orang yang memiliki kasih pastilah
sabar, tidak cemburu, tidak sombong, dan seterusnya.
Oleh karena itu kasih harus dipandang
sebagai karakter Allah yang harus diusahakan oleh manusia, yaitu manusia yang
sudah mengenal Allah dengan benar. Percuma orang Kristen mengaku diri sebagai
orang yang penuh kasih tetapi ternyata ia tidak mengenal Allah dengan benar.
Kasih yang dipahami orang itu hanya sebatas definisi kasih secara umum atau
sebatas definisi kasih yang juga dikenal oleh orang-orang beragama lain.
Jadi apakah kasih itu? Jika boleh saya
membuat definisi, kasih adalah kesesuaian terhadap kehendak Allah. Orang hanya
dapat dikatakan memiliki kasih (tentu dalam hal ini kasih yang benar) jika dan
hanya jika ia melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendak Allah. Orang yang
bertindak di luar kehendak Allah tentu tidak dapat dikatakan memiliki kasih,
meskipun hal tersebut dipandang baik di mata manusia lain atau di mata
masyarakat pada umumnya. Kita harus memiliki kasih yang benar sehingga kita
juga dipandang berkenan oleh Allah yang adalah kasih.
Oleh karena itu, jika kita melihat ayat
1, kita dapat menemukan bahwa dapat berkata-kata dalam semua bahasa manusia dan
bahkan bahasa malaikat adalah baik, tetapi jika tanpa kasih (yang artinya tanpa
kesesuaian dengan kehendak Allah), maka semua perkataan kita akan menjadi
sia-sia dan tidak membangun. Kita sama saja dengan gong yang berbunyi nyaring
tanpa makna. Orang-orang yang mendengarnya tidak akan dibangun imannya karena
perkataan kita. Jika demikian, bukankah perkataan kita menjadi sia-sia? Itulah
sebabnya Paulus sendiri juga menulis dalam suratnya bahwa ia lebih suka
berkata-kata dengan 5 kata yang dapat dimengerti untuk mengajar orang lain
daripada beribu-ribu kata dengan bahasa roh (1 Kor 14:19). Konteks dari ayat
tersebut dapat dibaca dalam ayat-ayat sebelumnya, yang juga masih merupakan
sambungan dari pasal 13.
Jadi dalam hal ini, Paulus ingin
menekankan bahwa perkataan kita harus penuh kasih dan tidak hambar (Kol 4:6).
Maksudnya adalah semua perkataan kita harus memancarkan perkataan Tuhan atau selaras
dengan pikiran dan perasaan Tuhan sendiri. Kita tidak boleh berkata-kata supaya
terlihat pintar dan terhormat di mata manusia tetapi justru perkataan kita
tidak membangun orang atau tidak sesuai dengan isi hati Tuhan. Hal ini secara
khusus merupakan tantangan bagi setiap pengkhotbah/pembicara/pendeta, karena
mereka harus membuat kata-kata mereka di atas mimbar untuk dapat sesuai dengan
kehendak Tuhan. Orang bisa saja belajar teori khotbah dan menyampaikan khotbah
yang enak didengar. Tetapi menjadi persoalan apakah khotbah tersebut sesuai
dengan kehendak Tuhan dan berkenan di hadapan Tuhan?
Dalam ayat 2, kita melihat bagaimana
Paulus menggambarkan kondisi orang-orang yang memiliki sejumlah karunia roh,
seperti bernubuat, mengetahui segala rahasia, memiliki seluruh pengetahuan,
bahkan memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung. Akan tetapi,
ternyata semua hal itu menjadi sia-sia jika orang tersebut tidak memiliki
kasih. Apakah maksudnya?
Kita telah mempelajari bahwa kasih
adalah kesesuaian terhadap kehendak Allah. Jadi di sini meskipun ada orang yang
memiliki karunia roh dan terlihat hebat di mata orang (apalagi di mata jemaat),
tetapi ia juga perlu memiliki kasih. Karunia roh memang bisa diberikan kepada
orang-orang tertentu dalam jemaat tentu dengan tujuan untuk membangun jemaat.
Namun demikian, ketika karunia itu tidak dipakai sebagaimana mestinya, maka
terjadi penyimpangan di sini. Karunia roh harus dipakai untuk membangun jemaat
dan bukan untuk hanya membangun diri sendiri, apalagi hanya digunakan untuk
membangun citra diri.
Oleh karena itu, banyak orang Kristen
yang terjebak untuk mengejar karunia roh tetapi melalaikan buah roh. Karunia
roh adalah karunia yang bisa diberikan Roh Kudus kepada orang percaya. Namun
karunia roh belum tentu bersifat permanen. Sementara itu buah roh adalah suatu hal
logis yang dihasilkan oleh setiap orang percaya yang sudah dewasa. Buah roh ini
sebenarnya bersifat permanen, berbeda dengan karunia roh yang bisa tidak
permanen. Contoh hal ini adalah bisa saja orang Kristen memiliki karunia untuk
membuat mujizat, tetapi ada kalanya karunia tersebut tidak dapat dilakukan
terus menerus (karena mujizat pun harus dilakukan sesuai dengan kehendak Allah).
Tetapi buah roh adalah bersifat permanen. Karakter yang penuh kasih, kesabaran,
kelemahlembutan, penguasaan diri, dan lain sebagainya akan muncul ketika
seseorang dewasa rohani dan terus bertumbuh hingga matang dengan sempurna.
Sayangnya masih banyak orang Kristen
yang lebih melihat bahwa karunia roh lebih tinggi daripada buah roh. Ingat
bahwa orang bisa memiliki karunia roh tetapi tidak memiliki buah roh.
Sebaliknya orang yang memiliki buah roh tidak akan mempersoalkan apakah ia
memiliki karunia roh atau tidak, karena ia tahu bahwa ketika ia sudah hidup
sesuai dengan kehendak Tuhan, maka Tuhan dapat dengan mudah memberikan karunia
yang dibutuhkan kepada dirinya. Tuhan tahu bahwa orang-orang yang dewasa dan
memiliki buah roh pasti tahu bahwa mereka harus menggunakan karunia roh (dan
segala apa yang mereka miliki) sesuai dengan apa yang ia mau. Jika orang-orang
dewasa seperti ini diberikan karunia roh, maka mereka tentu tidak akan
menyalahgunakan karunia tersebut.
Dalam ayat 3, kita melihat hal yang
lebih ekstrem lagi. Paulus menyebutkan bahwa sekalipun ia membagi-bagikan semua
hartanya dan bahkan menyerahkan tubuhnya sendiri untuk dibakar, tetapi tanpa
kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagi dirinya. Dalam dunia ini banyak
orang yang bisa memberikan sebagian dari harta miliknya kepada orang lain untuk
membantu orang lain. Bahkan ada juga beberapa orang yang ekstrem dan berani
menjual segala sesuatunya untuk dibagi-bagikan kepada orang lain. Tindakan ini
juga dilakukan oleh jemaat mula-mula yang menjual harta miliknya dan dibagikan
kepada sesama jemaat (Kis 2:45). Namun demikian, ternyata ditulis bahwa
meskipun seseorang menjual seluruh harta miliknya dan membagi-bagikan kepada
orang lain, tetapi mereka bisa melakukannya tanpa memiliki kasih.
Lebih ekstrem lagi, Paulus menulis
bahwa meskipun ia menyerahkan tubuhnya sendiri untuk dibakar, tetapi tanpa
kasih semua sia-sia. Apakah maksudnya ini? Bukankah orang yang rela mati (bagi
orang lain) pasti orang yang sabar dan murah hati? Mungkinkah orang dengan
tingkatan seperti ini tidak memiliki kasih di dalam hidupnya? Jika kasih
dimaknai secara dangkal atau disamakan dengan definisi kasih secara umum
(seperti yang ada di agama-agama lain), maka hal itu sangat mungkin terjadi.
Ada orang-orang tertentu yang rela mati
bagi orang lain. Di pandangan masyarakat pada umumnya, orang seperti itu adalah
orang yang luar biasa memiliki kasih. Akan tetapi, menjadi pertanyaan apabila definisi
kasih diartikan sebagai kesesuaian terhadap kehendak Allah, maka bahkan
kematian kita pun harus sesuai dengan kehendak Allah. Itulah kasih yang benar.
Tidak heran bahwa Tuhan Yesus pernah
nyaris dilempari batu oleh orang-orang Yahudi tetapi Tuhan Yesus lewat begitu
saja dan tidak mati saat itu juga (Yoh 8:59, 10:31-39). Tuhan Yesus memang akan
mati dan harus mati untuk menjadi Juruselamat dan menebus dosa manusia, namun
kematian-Nya harus menggenapi nubuatan dalam Kitab Suci. Tuhan Yesus harus mati
disalib dan bukan mati konyol karena dilempar batu. Petrus pun demikian, ia
pernah ditangkap tetapi dilepaskan oleh malaikat Tuhan (Kis 12:1-19). Akan tetapi
sejarah gereja mencatat bahwa pada akhirnya Petrus pun harus mati dengan kepala
terbalik.
Hal yang sama terjadi kepada Paulus
yang sudah beberapa kali nyaris mati bahkan nyaris mati dibunuh. Tetapi Paulus
tahu bahwa ia harus mati sesuai dengan kehendak Tuhan. Oleh karena itu dalam
beberapa kesempatan Paulus pun mau melarikan diri (Kis 9:23-25) maupun dikawal oleh
pasukan Romawi supaya tidak dibunuh orang Yahudi (Kis 23:12-35). Akan tetapi ia
tetap berani datang ke Yerusalem meskipun ia tahu bahwa ada risiko ia akan
ditangkap (Kis 21:10-14). Sekilas terlihat ada kontradiksi bagaimana Paulus
siap untuk pergi ke Yerusalem meskipun ia tahu akan ditangkap oleh orang-orang
Yahudi, tetapi setelah ditangkap, ia meminta perlindungan dari pasukan Romawi
supaya tidak dibunuh orang Yahudi di tengah jalan. Mengapa Paulus seakan-akan menjadi
pengecut seperti itu?
Supaya kita lebih cerdas, kita harus
melihat konteks peristiwa yang dialami oleh Paulus sebelum memutuskan bersedia
dikawal oleh pasukan Romawi. Dalam ayat sebelumnya dikatakan bahwa Tuhan datang
berdiri di sisinya dan berkata kepadanya: "Kuatkanlah hatimu, sebab
sebagaimana engkau dengan berani telah bersaksi tentang Aku di Yerusalem,
demikian jugalah hendaknya engkau pergi bersaksi di Roma" (Kis 23:11).
Oleh karena itu, adalah kehendak Tuhan supaya Paulus pergi bersaksi di Roma.
Jadi jika Paulus mendengar info rencana pembunuhan dirinya dan bersikap pasrah
begitu saja, maka itu pun adalah pelanggaran terhadap kehendak Tuhan. Jika
Paulus mati dibunuh ketika ia hendak dihadapkan ke Makhamah Agama, maka itu
bukanlah kasih, karena kasih yang sejati (atau kasih yang benar) adalah
kesesuaian terhadap kehendak Allah.
Oleh karena itu, sangatlah dini jika
kita mengatakan diri kita memiliki kasih ketika kita mau memberikan uang kepada
pengemis, atau mau menjual barang milik kita dan menyerahkannya untuk gereja.
Semua hal harus dalam kontrol dan tuntunan Tuhan. Jika Tuhan berkata kepada
kita: “Berikan uang sekian kepada si A”, maka ketika kita menaati suara Tuhan
tersebut, barulah itu dikatakan sebagai kasih. Tetapi jika Tuhan tidak menyuruh
kita, namun kita menjual mobil kita dan memberikan seluruh uang bagi
pembangunan gereja, itu tidak dapat dikatakan kasih di pandangan Tuhan,
meskipun kebanyakan orang (termasuk pendeta) akan berkata bahwa kita memiliki
kasih yang besar. Belajarlah memiliki kasih yang benar, yaitu kesesuaian
terhadap kehendak-Nya. Belajarlah peka untuk mendengar suara-Nya dan mengerti
kehendak-Nya. Belajarlah memiliki kerelaan untuk melakukan kehendak-Nya,
sesulit apapun itu. Maka barulah kita dapat dipandang sebagai orang yang
memiliki kasih yang benar di hadapan Tuhan.
Bacaan
Alkitab: 1 Korintus 13:1-7
13:1 Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan
bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong
yang berkumandang dan canang yang gemerincing.
13:2 Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui
segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki
iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai
kasih, aku sama sekali tidak berguna.
13:3 Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku,
bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai
kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku.
13:4 Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak
memegahkan diri dan tidak sombong.
13:5 Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri
sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
13:6 Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran.
13:7 Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan
segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.