Selasa, 30 Januari 2018
Bacaan
Alkitab: 1 Samuel 26:7-11
Tetapi kata Daud kepada Abisai: "Jangan musnahkan dia, sebab siapakah
yang dapat menjamah orang yang diurapi TUHAN, dan bebas dari hukuman?" (1
Sam 26:9)
Tidak Menjamah Orang yang Diurapi Tuhan
Kalimat seperti judul renungan kita
hari ini mungkin cukup sering terdengar di kalangan orang Kristen. Kalimat
tersebut biasa keluar dari mulut seorang pendeta, gembala sidang, pengkhotbah,
bahkan lulusan sekolah Alkitab. Terdapat beberapa kali kalimat yang hampir
mirip dengan judul renungan ini muncul dalam Alkitab, baik dalam Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru. Mungkin suatu saat nanti kita juga perlu membahas
dan membuat serial renungan mengenai orang yang diurapi atau bahkan mengenai
urapan/pengurapan dalam Alkitab.
Salah satu ayat mengenai orang yang
diurapi ada dalam bagian bacaan Alkitab kita hari ini. Latar belakang peristiwa
ini adalah ketika Daud sedang lari dari kejaran Saul karena Daud dianggap
berpotensi mengancam tahta kerajaan yang sedang diduduki Saul. Pada suatu waktu
ketika sedang memburu Daud, Saul dan para tentara sedang beristirahat/tidur
pada waktu malam. Saul tidur di tengah-tengah perkemahan dan para perwira dan
prajurit-prajurit berbaring di sekelilingnya (ay. 7).
Daud dan Abisai datang ke perkemahan
Saul tersebut dan dengan mudah sudah berada di dekat Saul tanpa ada orang yang
menyadarinya. Saat itu Abisai berkata kepada Daud bahwa Allah telah menyerahkan
musuhnya (yaitu raja Saul) ke dalam tangan Daud, dan meminta ijin untuk menikam
Saul dengan tombaknya (ay. 8). Bahkan Abisai berkata bahwa cukup hanya dengan 1
tikaman tombak saja, Saul pasti mati dan kemudian Daud dapat dengan mudah menjadi
raja atas Israel.
Akan tetapi Daud menolak usul Abisai
tersebut. Ia tahu bahwa Allah-lah yang telah menunjuk Saul menjadi raja atas
Israel. Daud tahu pula bahwa Allah juga telah menunjuk dirinya menjadi Raja
Israel menggantikan Saul (meskipun pada waktu itu Saul masih hidup). Oleh
karena itu Daud berkata supaya Abisai jangan membunuh Saul (ay. 9a). Ada
kalimat selanjutnya yang sering digunakan oleh sejumlah
pendeta/pengkhotbah/pembicara sebagai kalimat sakti yaitu: “sebab siapakah yang
dapat menjamah orang yang diurapi TUHAN, dan bebas dari hukuman?” (ay. 9b).
Persoalannya, seringkali ayat tersebut tidak dilihat sesuai konteksnya.
Konteks peristiwa tersebut adalah dalam
masa Perjanjian Lama, atau lebih tepatnya lagi adalah dalam masa awal
berdirinya kerajaan Israel yang dipimpin oleh seorang raja. Sebelum Saul naik
menjadi raja pertama bagi orang Israel, bangsa Israel dipimpin oleh
hakim-hakim. Sebelumnya, bangsa Israel dipimpin oleh Musa dan Yosua. Selain itu
selama ini orang-orang yang diurapi dalam masa Perjanjian Lama hanyalah para
imam (Kel 30:30-33, Kel 40:12-15). Ketika bangsa Israel mulai tinggal menetap
di tanah Kanaan, mereka sebenarnya masih dipimpin oleh seorang imam (atau imam
besar), seperti Imam Eli dan juga Samuel. Selama ini mereka adalah imam-imam
yang memang diurapi untuk menjadi pemimpin bagi bangsa Israel (baik secara
jasmani dan rohani).
Namun ketika bangsa Israel menginginkan
dipimpin oleh seorang raja (seperti bangsa-bangsa lain), maka pada awalnya
Samuel gusar, karena itu dapat dikatakan sebagai suatu “kudeta” terhadap
jabatan para imam. Namun Tuhan menghibur hati Samuel dan berkata kepadanya
bahwa bukan Samuel yang ditolak bangsa Israel, tetapi Tuhanlah yang mereka
tolak (1 Sam 8:7). Sejak itu, muncul jabatan baru yang juga menerima pengurapan
yaitu jabatan raja. Seorang raja Israel harus diurapi karena mereka adalah
seorang pemimpin Israel juga, sama seperti para imam. Desain awal jabatan raja
adalah raja dan imam sama-sama merupakan pemimpin jasmani dan rohani, namun
bedanya raja dapat mewakili bangsa Israel ketika berdialog dengan bangsa-bangsa
di luar negeri, sementara imam lebih cenderung mengurusi urusan dalam negeri.
Itulah sebabnya seorang raja juga harus diurapi sama seperti imam yang diurapi.
Dalam perkembangannya, ternyata pola
pembagian seperti ini mulai bergeser, karena seorang raja hanya mengurusi
persoalan jasmani sementara imam mengurusi urusan-urusan rohani. Akibatnya
terjadi pemisahan tugas dan fungsi raja dan imam. Namun secara tradisi, seorang
raja tetap harus diurapi, meskipun makna pengurapannya tersebut menjadi nyaris
tak berarti, karena ternyata cukup banyak raja Israel (dan juga Yehuda) yang
pada akhirnya bertindak melawan Tuhan.
Kembali lagi kepada konteks Saul dan
Daud pada waktu itu, Saul adalah orang awam pertama (selain para imam) yang mendapatkan
pengurapan dari Tuhan. Daud sendiri adalah orang awam kedua (setelah Saul) yang
menerima pengurapan. Oleh karena itu posisi mereka kedua-duanya cukup unik. Daud
sendiri sangat menghargai Saul yang merupakan orang awam pertama yang diijinkan
diurapi Tuhan. Oleh karena itu perkataan Daud di sini harus dilihat dalam
konteks dan latar belakang tersebut. Keistimewaan Saul bukan hanya terletak
pada fakta bahwa ia diurapi oleh Tuhan, tetapi karena ia adalah orang awam pertama
yang diurapi. Dalam masa-masa selanjutnya, kita melihat bahwa pengurapan
terhadap raja memiliki makna yang nyaris tidak ada artinya selain hanya
seremonial belaka. Itulah sebabnya kalimat “jangan menjamah/mengusik orang yang
diurapi Tuhan” yang merujuk kepada sebenarnya hanya muncul di awal-awal
kerajaan Israel (contoh: 1 Taw 6:22 yang dikutip dalam Mzm 105:15, sebagai mazmur
yang ditulis Daud, serta peristiwa di dalam 1 Sam 24 dan 1 Sam 26). Dalam
masa-masa selanjutnya, frasa tersebut tidak ditemukan lagi di dalam Alkitab.
Jika kita melanjutkan membaca perikop
kita hari ini, kita akan menemukan bahwa konteks “sebab siapakah yang dapat menjamah
orang yang diurapi Tuhan, dan bebas dari hukuman” adalah bahwa jika Daud
membunuh Saul, maka itu adalah pelanggaran terhadap hukum Taurat ke-6 yang
berbunyi: “Jangan membunuh” (Kel 20:13). Ingat bahwa hukum Taurat berlaku bagi
orang Israel (khususnya kepada sesama orang Israel), dan tidak berlaku kepada
musuh-musuh mereka (seperti orang Filistin, orang Amalek, dan lain sebagainya).
Sehingga jika Daud membunuh Saul, maka ia melanggar hukum Taurat dan
mendatangkan hukuman bagi dirinya.
Sebenarnya, jika Saul mati maka hal itu
akan menguntungkan Daud karena ia akan naik sebagai raja. Ingat bahwa secara de jure Daud sudah diurapi sebagai raja
Israel, tetapi secara de facto Daud
hanyalah seorang pelarian yang dikejar-kejar oleh raja Israel yang sedang
berkuasa. Daud dapat saja membunuh Saul dan kemudian naik menjadi raja, tetapi
Daud memilih untuk tidak melakukannya. Daud tahu bahwa jika ia telah diurapi
sebagai raja Israel, meskipun Saul masih menjadi raja Israel, maka hal tersebut
tinggal menunggu waktu Tuhan. Dalam hal ini nampak iman Daud yang luar biasa
dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum meskipun
hal itu dapat menggenapi nubuatan Tuhan atas dirinya. Daud memilih menyerahkan
kepada Tuhan untuk membuat waktu yang tepat baginya untuk naik tahta. Oleh
karena itu kalimat Daud di ayat 10 ini sangat luar biasa: “Tuhan akan membunuh
dia (Saul), entah karena sampai ajalnya dan ia mati (mati karena sudah
waktunya, atau karena sudah lanjut usianya), atau karena ia berperang dan mati
di sana” (ay. 10). Daud tidak mau menjamah Saul dan kemudian menyuruh Abisai
untuk mengambil tombak dan kendi di dekat Saul kemudian pergi tanpa mengangkat
tangan melawan Saul (ay. 11). Nyatanya, kita kemudian tahu bahwa Tuhan membuat
Saul mati ketika ia pergi berperang melawan orang Filistin (1 Sam 31:1-7).
Oleh karena itu, adalah suatu hal yang
lucu jika banyak pendeta/pembicara/pengkhotbah menyampaikan firman tentang “jangan
mengusik/menjamah orang yang diurapi Tuhan”, seakan-akan mereka adalah orang-orang
spesial yang telah diurapi Tuhan. Jika kita memperhatikan bahwa kalimat “jangan
mengusik/menjamah orang yang diurapi Tuhan” di dalam Alkitab hanya
diucapkan/ditulis oleh Daud. Dan Daud tidak mengatakan hal itu untuk melindungi
dirinya atau jabatannya sebagai raja. Daud mengucapkan hal itu untuk
mengingatkan dirinya supaya tidak menjamah Saul (yang adalah orang awam pertama
yang diurapi oleh Tuhan) dan tidak berbuat dosa bagi dirinya sendiri.
Sementara itu konteks pengurapan di
zaman Perjanjian Baru sangatlah berbeda dengan masa Perjanjian Lama. Kita harus
mencoba belajar, apakah di masa Perjanjian Baru ini ada orang-orang khusus yang
diurapi Tuhan ataukah semua orang percaya diurapi Tuhan? Di sini kita harus
tekun belajar kebenaran firman Tuhan khususnya firman Tuhan di dalam Perjanjian
Baru. Jawaban atas pertanyaan tersebut akan membuat kita cerdas dan tidak mudah
ditipu dan disesatkan oleh orang-orang yang menggunakan ayat Alkitab tanpa
melihat konteks dan latar belakang.
Jadi saya setuju bahwa kita memang
tidak boleh menjamah/mengusik orang yang diurapi Tuhan. Tetapi persoalannya,
siapakah orang yang diurapi Tuhan tersebut? Bahkan dengan tegas saya menyatakan
bahwa kita pun tidak boleh menjamah atau mengusik orang lain, termasuk
orang-orang yang bukan orang Kristen atau orang beragama lain. Kita tidak boleh
merugikan orang lain dan berbuat jahat kepada orang lain. Jika kita merugikan
orang lain, bagaimana orang tersebut bisa mengenal Tuhan Yesus yang benar, yang
katanya penuh kasih, sementara orang Kristen tidak menunjukkan kehidupan yang
penuh kasih? Jika demikian, nama Tuhan akan dihujat karena perbuatan kita.
Jadi persoalan kalimat “jangan
menjamah/mengusik orang yang diurapi Tuhan” sebenarnya sudah tidak relevan lagi
dikhotbahkan di atas mimbar gereja. Apalagi jika khotbah itu hanya disampaikan
untuk mengesankan bahwa para pendeta/pembicara/pengkhotbah adalah orang-orang
spesial yang diurapi Tuhan dan jemaat bukan orang-orang yang diurapi Tuhan. Itu
adalah penyesatan yang luar biasa karena membangun semacam kasta di dalam
gereja. Padahal firman Tuhan jelas berkata bahwa kita adalah imamat yang rajani
(1 Ptr 2:9), sehingga dapat dikatakan bahwa kita semua adalah imam-imam
kerajaan, sehingga tidak perlu adanya suatu “perantara” antara orang percaya
dengan Tuhan. Semua kita dapat berhubungan langsung dengan Tuhan, dan di mata
Tuhan tidak ada posisi atau jabatan-jabatan gerejawi tertentu yang membuat mereka
lebih dekat dengan Tuhan dibanding jemaat.
Kedekatan seseorang dengan Tuhan hanya
ditentukan oleh tingkat kekudusan hidup dan kerelaan untuk melakukan kehendak
Bapa dengan sempurna. Orang yang menjaga kekudusan hidup dan mau melakukan
kehendak Bapa tentu akan lebih dekat dengan Tuhan meskipun orang itu tidak menduduki
jabatan tertentu di dalam gereja. Sementara itu meskipun ada orang yang menjadi
seorang pendeta, namun jika ia tidak menjaga kekudusan hidup dan menolak
melakukan kehendak Bapa, maka ia sedang hidup jauh dari jalan Tuhan. Di sini
harus dipahami bahwa tidak ada jabatan tertentu dalam gereja yang membuat doa
seseorang lebih didengar atau tidak. Kita juga tidak boleh berpikir bahwa jika
didoakan pendeta tertentu maka doanya akan semakin manjur. Setiap kita dapat
langsung ebrurusan dengan Tuhan tanpa menggunakan perantara, sama seperti
keselamatan kita masing-masing adalah urusan kita pribadi lepas pribadi dengan
Tuhan sendiri.
Bacaan
Alkitab: 1 Samuel 26:7-11
26:7 Datanglah Daud dengan Abisai kepada rakyat itu pada waktu malam, dan
tampaklah di sana Saul berbaring tidur di tengah-tengah perkemahan, dengan
tombaknya terpancung di tanah pada sebelah kepalanya, sedang Abner dan rakyat
itu berbaring sekelilingnya.
26:8 Lalu berkatalah Abisai kepada Daud: "Pada hari ini Allah telah
menyerahkan musuhmu ke dalam tanganmu, oleh sebab itu izinkanlah kiranya aku
menancapkan dia ke tanah dengan tombak ini, dengan satu tikaman saja, tidak
usah dia kutancapkan dua kali."
26:9 Tetapi kata Daud kepada Abisai: "Jangan musnahkan dia, sebab
siapakah yang dapat menjamah orang yang diurapi TUHAN, dan bebas dari
hukuman?"
26:10 Lagi kata Daud: "Demi TUHAN yang hidup, niscaya TUHAN akan
membunuh dia: entah karena sampai ajalnya dan ia mati, entah karena ia pergi
berperang dan hilang lenyap di sana.
26:11 Kiranya TUHAN menjauhkan dari padaku untuk menjamah orang yang
diurapi TUHAN. Ambillah sekarang tombak yang ada di sebelah kepalanya dan kendi
itu, dan marilah kita pergi."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.