Kamis, 19 Oktober 2017
Bacaan Alkitab: Lukas 16:1-15
Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam
perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil,
ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar. (Luk 16:10)
Apakah yang Dimaksud dengan Perkara Kecil?
Sejak saya kecil, saya sudah familiar
dengan ayat nats kita pada renungan hari ini yaitu: “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam
perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil,
ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar” (ay. 10). Sejak saya
kecil, bayangan saya adalah Tuhan menuntut kesetiaan dari umat-Nya supaya setia
dari hal-hal kecil. Hal ini biasanya dicontohkan dengan setia memberikan
persembahan persepuluhan walaupun penghasilan kita masih sedikit, maka lambat
laun Tuhan akan mempercayakan penghasilan yang lebih besar lagi kepada kita.
Namun jika kita tidak setia dalam hal memberikan persembahan persepuluhan
ketika penghasilan kita masih kecil, bagaimana Tuhan bisa mempercayakan
penghasilan yang lebih besar lagi?
Ayat ini juga sering dianalogikan
dengan pelayanan di gereja. Saya sering mendengar bagaimana ayat ini diajarkan
supaya pelayan Tuhan setia dari hal-hal kecil, misalnya membereskan bangku
gereja, atau mulai dari menjadi penerima tamu. Dari hal-hal kecil seperti itu,
jika kita setia maka Tuhan akan menambah-nambahkan kepercayaan kepada kita
sehingga kita akan semakin dipercaya dalam pelayanan lainnya, mulai dari
menjadi singer, pemusik, worship leader, bahkan pembicara.
Hal ini yang sudah tertanam dalam
pikiran saya selama bertahun-tahun, hingga pada beberapa saat yang lalu, saya
mulai terusik, apakah ayat tersebut hanya berbicara tentang hal ini? Karena
jika demikian, maka ayat tersebut sebenarnya juga sama saja dengan ayat di
kitab suci agama lain. Bahkan pendidikan moral di sekolah juga mengajarkan
bagaimana murid harus rajin belajar (setia dalam hal kecil) supaya menjadi
pandai, atau rajin menabung supaya kaya, dan lain sebagainya. Kita tentu
mengenal prinsip “sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit”. Apakah ayat
di Alkitab kita hanya sejajar dengan peribahasa tersebut?
Untuk menjawab hal ini, mari kita
memahami ayat tersebut dari konteks dan latar belakangnya, termasuk dari
ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Kita bisa melihat bahwa ayat tersebut diawali
dari kisah yang disampaikan oleh Tuhan Yesus mengenai seorang bendahara yang
bekerja pada seorang yang kaya. Kepada orang kaya tersebut disampaikan tuduhan
bahwa bendahara itu menghamburkan miliknya (ay. 1). Kata bendahara di sini dalam
bahasa aslinya adalah oikonomos (οἰκονόμος) yang dapat secara harafiah
diartikan sebagai manajer/pengelola harta. Pada masa itu orang-orang kaya
mempunyai hamba yang mengelola kekayaan itu, yaitu si manajer/bendahara. Sementara
itu kata menghamburkan dalam bahasa aslinya adalah diaskorpizó (διασκορπίζω) yang
juga dapat diartikan sebagai “to scatter,
to separate, to winnow, to squander” (menyebarkan/menghamburkan,
memisahkan, menampi, memboroskan/menghabiskan dengan sia-sia). Jadi si
bendahara/manajer ini belum tentu mengambil keuntungan pribadi (mencuri) dari
harta tuannya, melainkan kemungkinan ia tidak melakukan tugasnya dengan benar
sehingga tuannya menjadi rugi. Bisa jadi kelalaian si bendahara ini diakibatkan
ia tidak bersedia memberi pinjaman kepada orang lain sehingga usaha tuannya (yang
kemungkinan bergerak di dalam bidang simpan meminjam) menjadi kurang atau
bahkan tidak berkembang.
Tuannya kemudian memanggil bendahara
itu dan meminta pertanggungjawaban atas urusannya karena ia sudah tidak boleh
lagi bekerja sebagai bendahara (ay. 2). Artinya adalah si tuan meminta
bendahara tersebut mempertanggungjawabkan pekerjaannya karena ia telah
merugikan tuannya. Ia pun tidak boleh lagi bekerja sebagai bendahara (tidak
boleh lagi mengelola harta tuannya). Ada kemungkinan bahwa tuannya tidak langsung
memecatnya dari jabatan bendahara, sehingga ia masih memiliki kesempatan sampai
putusan pemecatan itu terjadi. Tuannya tidak dapat melaporkan si bendahara ke
pengadilan karena memang ia tidak mencuri harta tuannya, karena ia “hanya” lalai
dalam bekerja sehingga tuannya merugi.
Dalam sisa waktu yang singkat ini, si
bendahara berpikir mengenai apa yang akan ia lakukan selanjutnya setelah ia tidak
menjadi bendahara lagi (ay. 3a). Jika tuannya menurunkan jabatannya menjadi
buruh kasar atau petani bagi tuannya, maka ia pun tidak bisa mencangkul.
Sementara jika ia sampai dipecat dan tidak boleh bekerja pada tuannya lagi,
maka ia pun juga malu untuk mengemis. Pastilah berita pemecatan dirinya dapat
tersebar luas sehingga tidak ada lagi orang kaya yang mau memberikan pekerjaan
kepadanya.
Oleh karena itu, selagi masih ada waktu, ia pun berpikir untuk
memanfaatkan jabatannya dalam sisa waktu yang singkat untuk mengamankan
dirinya. Ia ingin agar ketika ia dipecat dari jabatannya sebagai bendahara, ada
orang yang mau menerima dirinya di rumah mereka (yaitu menjadi bendahara bagi
mereka) (ay. 4). Ia tentu tidak bisa mengejar jabatan sebagai bendahara bagi
orang kaya yang sekelas/selevel dengan tuannya yang terdahulu. Namun setidaknya
ia masih bisa menjadi bendahara di rumah orang lain. Oleh karena itu ia
memanggil seorang demi seorang yang berhutang kepada tuannya (ay. 5a). Kepada
orang yang pertama, ia bertanya berapa hutangnya kepada tuannya (ay. 5b). Ingat
bahwa pada waktu itu ia sudah tidak boleh lagi bekerja sebagai bendahara,
tetapi selagi menunggu putusan pemecatan tersebut, ia masih memanfaatkan waktu
yang ada untuk menyelamatkan dirinya.
Orang yang pertama menjawab bahwa hutangnya kepada tuannya adalah 100
tempayan minyak. Si bendahara berkata kepada orang itu: Inilah surat hutangmu,
duduklah dan buat surat hutang lain sekarang juga sebanyak 50 tempayan (ay. 6).
Sementara orang yang kedua berhutang 100 pikul gandum dan si bendahara
menyerahkan surat hutangnya kemudian memintanya membuat surat hutang baru
sebanyak 80 pikul gandum.
Ada beberapa penafsiran terhadap apa yang dilakukan bendahara ini. Penafsiran pertama adalah kemungkinan
bahwa si bendahara memberikan surat hutang kepada si peminjam (yang artinya
hutang si peminjam lunas), lalu si bendahara meminta si peminjam membuat surat
hutang baru sebanyak 50 tempayan (dalam jumlah yang lebih kecil). Hal ini tentu
saja membuat si peminjam senang dan karena catatan hutangnya yang masih 100
tempayan kini menjadi 50 tempayan. Penafsiran
kedua adalah kemungkinan bahwa si bendahara sebenarnya hanya membuat si
peminjam bisa meminjam dalam jumlah yang lebih banyak lagi, sehingga peminjam
yang dahulu berhutang 100 tempayan minyak, kini ia dapat menambah pinjamannya
sebanyak 50 tempayan minyak (total menjadi 150 tempayan minyak).
Saya sendiri lebih cenderung ke penafsiran kedua karena dalam penafsiran
pertama, tentu si tuan dirugikan dan pasti akan membawa bendahara tersebut ke
pengadilan. Lagipula bagaimana bisa bendahara tersebut bisa bekerja bersama
tuan yang baru jika calon tuan yang baru (yaitu para peminjam) saja melihat
bahwa bendahara tersebut bertindak ceroboh dengan merugikan tuan yang lama.
Bukankah si bendahara suatu saat nanti juga bisa merugikan dirinya?. Oleh
karena itu, menurut pendapat saya secara pribadi, si bendahara itu mencoba
untuk menarik hati orang lain dengan memudahkan orang-orang yang berhutang
kepada tuannya yang lama untuk meminjam kembali dengan jumlah yang lebih besar.
Ada kemungkinan pada waktu itu para peminjam kesulitan meminjam lebih banyak
karena tidak ada jaminan, tetapi si bendahara memudahkan urusannya dengan
seakan-akan membuat tuannya murah hati dalam memberikan pinjaman.
Hal ini dapat terlihat jelas dari bahasa aslinya, dimana surat hutang dalam
bahasa asli adalah gramma (γράμμα) yang bisa diartikan sebagai
surat, catatan, surat hutang atau dokumen. Jika gramma diartikan secara sempit sampai surat hutang yang baru
dikembalikan setelah hutangnya lunas, maka itu berarti surat hutang tersebut
diserahkan bendahara kepada para peminjam padahal hutangnya belum lunas. Namun
jika gramma diartikan sebagai dokumen
atau catatan hutang secara umum, maka bisa jadi para bendahara ingin agar si
peminjam dapat menulis hutang baru mereka selain hutang yang lama itu.
Bendahara akan dipandang sebagai orang yang membantu para peminjam mendapatkan
hutang baru. Ingat bahwa kondisi ini terjadi 2.000 tahun yang lalu dimana akses
bank tidak seperti saat ini sehingga orang-orang hanya dapat meminjam kepada
orang-orang kaya.
Perhatikan juga kata “sekarang juga” di ayat 6, yang dalam bahasa aslinya
adalah tacheós (ταχέως), yang dapat diartikan sebagai “soon, quickly, hastily” (segera, dengan cepat, dengan terburu-buru/tergesa-gesa).
Ini menunjukkan bahwa kegiatan pemanggilan para peminjam dan juga pembuatan
hutang baru dilakukan dengan terburu-buru karena waktu yang mendesak. Ini
merujuk kepada sisa waktu yang dimiliki bendahara tersebut sebelum ia tidak
dapat lagi mengambil keputusan.
Kita dapat melihat reaksi tuan si bendahara tersebut ketika ia mengamati
tindakan bendaharanya. Tuan itu memuji bendahara yang tidak jujur, karena ia
telah bertindak dengan cerdik (ay. 8a). Tuannya sama sekali tidak marah
terhadap sikap bendahara tersebut. Jika penafsiran pertama yang kita ambil,
tentu tuannya akan marah melihat bendahara “mencuri” dari dirinya. Tetapi
karena sikap tuannya yang memuji si bendahara, tentu dalam hal ini tindakan
bendahara yang cerdik inilah yang dipuji oleh tuan tersebut.
Kata “memuji” di ayat 8 tersebut dalam bahasa aslinya adalah epaineó (ἐπαινέω) yang juga dapat diartikan sebagai “to approve” (menyetujui). Tuan tersebut menyetujui tindakan
bendahara yang dalam sisa masa kerjanya ternyata dapat bertindak dengan cerdik
dan tidak merugikan tuannya, bahkan bisa mengambil hati tuannya dan juga hati
para peminjam tersebut. Kata “cerdik” di ayat 8 tersebut dalam bahasa aslinya
adalah adikia (ἀδικία) yang selain berarti “injustice”
(tidak adil) juga dapat berarti “unrighteousness
by which others are deceived, including deceitful riches” (ketidakbendaran yang
memperdaya/menipu/mengecoh orang lain termasuk dengan mempergunakan
kekayaan/harta). Jadi bendahara tersebut dikatakan sebagai orang yang cerdik
karena ia menggunakan kekayaan atau harta untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Berbicara soal kecerdikan, kita harus dengan jujur mengakui bahwa
orang-orang di luar sana pun cukup banyak yang cerdik jika berurusan dengan
uang (ay. 8b). Banyak orang-orang non Kristen yang memiliki kekayaan yang
fantastis dari hasil kerja keras dan membaca peluang bisnis. Mereka bisa
menggunakan segala macam cara untuk mengamankan dan menyelamatkan diri mereka
sendiri. Dalam hal ini, kita bisa melihat bagaimana si bendahara menggunakan harta
(uang) untuk menjamin keselamatannya setelah ia dipecat oleh tuannya. Kita juga
dapat melihat bagaimana anak-anak dunia begitu cerdik memanfaatkan sisa waktu yang
ada untuk mencari keamanan dan juga kekayaan dunia, sementara anak-anak terang
justru tertinggal karena tidak dapat memanfaatkan waktu/kesempatan yang
tersedia.
Oleh karena itu Tuhan Yesus dengan jelas berkata agar murid-muridnya
mengikat persahabatan dengan mempergunakan “mamon yang tidak
jujur”, supaya jika mamon itu tidak dapat menolong lagi, mereka dapat diterima
di dalam kemah abadi (ay. 9). Sayangnya banyak orang Kristen tidak teliti
membaca ayat ini sehingga mereka tersesat. Banyak orang Kristen membaca ayat
ini dengan cepat sehingga berbunyi: “Ikatlah persahabatan dengan mamon yang
tidak jujur”, padahal kalimat aslinya adalah “Ikatlah persahabatan (dengan
Tuhan) dengan mempergunakan mamon yang tidak jujur”. Penghilangan kata “mempergunakan”
dapat membuat arti ayat tersebut menjadi sangat berbeda.
Menurut kamus Alkitab terbitan Lembaga
Alkitab Indonesia (LAI) yang terletak di bagian belakang Alkitab terbitan LAI,
mamon adalah harta benda dan kekayaan dibayangkan sebagai oknum (yang jahat).
Jadi jelas bahwa kata mamon ini merujuk kepada harta benda dan kekayaan, atau
bisa juga diartikan sebagai uang. Apakah harta benda, uang, dan kekayaan adalah
oknum yang jahat? Jawabannya tergantung pada sikap kita. Apakah kita selama ini
menjalin persahabatan dengan mamon tersebut, atau apakah kita menggunakan mamon
yang kita miliki untuk bersahabat dengan Tuhan. Ayat 9 di atas dalam bahasa
yang sederhana dapat berbunyi demikian: “Ikatlah persahabatan dengan Tuhan
menggunakan harta/uang kita, supaya jika harta/uang kita tidak dapat menolong
lagi, maka kita dapat diterima di kemah abadi”.
Kapan harta/uang tidak dapat menolong
lagi? Kita harus sadar bahwa harta/uang hanya bisa menolong kita di dunia ini.
Ketika kita mati, seberapapun harta dan uang yang kita miliki tidak akan ada
lagi artinya. Oleh karena itu betapa sesatnya jika orang Kristen selama ini
diajarkan untuk meminta Tuhan memberkati dengan uang dan harta yang melimpah. Hal
ini jika tidak disikapi dengan hati-hati akan dapat membuat hati orang Kristen
dicondongkan untuk menikmati kekayaan dunia dan tidak merindukan kekekalan di
langit yang baru dan bumi yang baru. Justru yang lebih penting lagi adalah
bagaimana orang Kristen diajarkan memiliki sikap yang benar terhadap harta dan
uang, yaitu hanya sebatas menjadi sarana untuk menjalin persahabatan dengan
Tuhan. Tujuan akhir setiap orang Kristen adalah untuk menjadi sahabat Tuhan,
bukan untuk bersahabat dengan uang dan kekayaan.
Dari 9 ayat pendahulunya, barulah Tuhan Yesus berkata bahwa barangsiapa
setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar, dan
barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam
perkara-perkara besar (ay. 10). Jadi apakah perkara kecil itu? Kita bisa
menarik kesimpulan bahwa perkara kecil yang dimaksud di ayat 10 tersebut adalah
mamon (harta, uang, dan kekayaan di dunia ini). Hal ini jelas terlihat dari
ayat setelahnya yang berkata bahwa “jika kita tidak setia dalam hal mamon yang
tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya?”
(ay. 11).
Jika kita memperhatikan kesejajaran
ayat 10 dan 11, maka kita akan dapat menangkap dengan jelas maksud ayat 10
yaitu supaya kita dapat menjadi setia dan benar dalam perkara kecil, yaitu
dalam sikap kita terhadap harta/uang. Ternyata uang itu adalah perkara kecil
yang harus kita sikapi dengan benar. Barulah jika sikap kita terhadap
harta/uang (perkara kecil) itu sudah benar, maka kita akan dipercayakan harta
yang sesungguhnya. Apakah harta yang sesungguhnya itu? Dalam bahasa aslinya
digunakan kata aléthinos (ἀληθινός) yang dapat berarti benar, nyata,
dan asli. Kata aléthinos berasal dari kata dasar alētheia (ἀλήθεια) yang
diterjemahkan sebagai kebenaran. Jadi perkara besar dalam hal ini adalah harta
yang sebenarnya, yaitu harta yang akan kita nikmati di dunia yang akan datang
(bukan harta yang kita nikmati di bumi). Faktanya harta yang sesungguhnya atau
harta yang sebenarnya itu hanya bisa kita nikmati jika kita tetap hidup dalam
kebenaran.
Kita harus menyadari bahwa harta kita
di dunia ini bukanlah milik kita. Itu adalah titipan Tuhan yang harus kita
kelola. Jika sikap kita terhadap harta di dunia ini telah benar di hadapan
Tuhan, yaitu bahwa kita hanya sebagai pengelola semata, maka barulah kita akan
dipercayakan harta yang sesungguhnya di dalam kekekalan nanti (ay. 12). Jadi
dunia ini hanyalah tempat transit atau hunian sementara kita. Fokus kita tidak
boleh bergeser kepada harta dunia yang bisa kita nikmati di dunia ini. Jadi
perkara kecil itu adalah mamon (harta, uang, kekayaan di dunia ini), yaitu harta
milik Tuhan yang dititipkan kepada kita selama kita di dunia ini, sedangkan
perkara besar adalah harta yang sebenarnya, harta yang benar, yaitu harta yang
akan kita nikmati dalam kekekalan bersama-sama dengan Tuhan sebagai Raja.
Oleh karena itu sikap kita harus benar,
siapa yang kita jadikan tuan (kurios/κύριος) dalam hidup kita. Apakah kita
menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tuan/majikan di hidup kita, ataukah
selama ini kita menjadikan mamon (harta, uang, kekayaan) sebagai tuan/majikan
di hidup kita. Persoalannya, kita tidak bisa mengabdi kepada 2 tuan. Kita tidak
bisa mengabdi kepada mamon dan kepada Tuhan. Kita harus memilih salah satu
siapa yang akan kita jadikan tuan atas hidup kita, apakah Tuhan atau mamon
(kekayaan dunia ini). Tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tuan/majikan
kita berarti kita menjadikan mamon sebagai tuan kita (ay. 13).
Hal ini terlihat jelas dari sikap orang
Farisi setelah mendengarkan khotbah Tuhan Yesus mengenai mamon ini. Orang-orang
Farisi tersebut mencemooh Tuhan Yesus setelah mendengar ucapan-Nya, karena
mereka adalah hamba-hamba uang (ay. 14). Orang-orang Farisi yang menduduki
tempat terhormat dalam kasta rohani bangsa Yahudi ternyata sebenarnya adalah
orang-orang yang masih cinta dunia. Oleh karena itu hanya sedikit di antara
orang Farisi yang dapat percaya kepada Tuhan Yesus, karena ajaran Tuhan Yesus
yang murni adalah bahwa orang percaya tidak boleh terikat dengan harta dunia,
sementara orang-orang Farisi sebenarnya masih duniawi meskipun di mata manusia
mereka terlihat sebagai orang benar.
Tuhan Yesus berkata bahwa sekalipun
orang Farisi membenarkan diri di hadapan manusia (karena mereka sangat menjaga
kehormatan dan harga diri mereka), tetapi sesungguhnya Allah mengetahui hati setiap
manusia, termasuk hati orang Farisi, hati saya dan juga hati kita semua (ay.
15a). Hal ini harus kita perkarakan dengan sungguh-sungguh, apakah sikap hati
kita sudah benar di hadapan Tuhan atau belum? Jangan sampai kita membenarkan diri
di hadapan manusia, dengan seolah-olah bersikap sudah tidak terikat dengan
dunia, tetapi ternyata hati kita masih menjadikan harta/uang (mamon) sebagai
tuan dalam hidup kita. Jika demikian kita hanya menjadi orang-orang yang
munafik, yang terlihat baik di pandangan manusia tetapi busuk di pandangan
Tuhan. Padahal kita harus mengingat bahwa apa yang dikagumi oleh manusia,
dibenci oleh Allah (ay. 15b).
Oleh karena itu mari kita berjuang
untuk setia dalam perkara-perkara kecil, yaitu terkait harta, uang, dan kekayaan
dunia ini (atau disingkat sebagai mamon). Jangan jadikan perkara-perkara kecil
sebagai tuan kita, tetapi jadikan Tuhan sebagai satu-satunya tuan dan majikan atas
hidup kita. Jangan berlagak sok suci di hadapan manusia tetapi kita masih duniawi
di belakang. Berjuanglah untuk menanggalkan keterikatan dengan harta dunia ini
dengan cara mengisi pikiran kita dengan kebenaran yang murni, karena kebenaran
yang murni pasti membawa kita memiliki pola pikir yang benar, yaitu pola pikir
yang fokus kepada kekekalan dan bukan fokus kepada kenikmatan duniawi. Jangan
biarkan perkara-perkara kecil itu membuat kita tidak setia, sehingga kita tidak
menyadari perkara-perkara besar di kekekalan yang Tuhan sediakan hanya bagi
mereka yang menang. Jadilah orang-orang yang menang, dan berjuanglah untuk
mengakhiri perlombaan iman hingga garis akhir.
Bacaan Alkitab: Lukas 16:1-15
16:1 Dan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Ada
seorang kaya yang mempunyai seorang bendahara. Kepadanya disampaikan tuduhan,
bahwa bendahara itu menghamburkan miliknya.
16:2 Lalu ia memanggil bendahara itu dan berkata
kepadanya: Apakah yang kudengar tentang engkau? Berilah pertanggungan jawab
atas urusanmu, sebab engkau tidak boleh lagi bekerja sebagai bendahara.
16:3 Kata bendahara itu di dalam hatinya: Apakah yang
harus aku perbuat? Tuanku memecat aku dari jabatanku sebagai bendahara.
Mencangkul aku tidak dapat, mengemis aku malu.
16:4 Aku tahu apa yang akan aku perbuat, supaya apabila
aku dipecat dari jabatanku sebagai bendahara, ada orang yang akan menampung aku
di rumah mereka.
16:5 Lalu ia memanggil seorang demi seorang yang
berhutang kepada tuannya. Katanya kepada yang pertama: Berapakah hutangmu
kepada tuanku?
16:6 Jawab orang itu: Seratus tempayan minyak. Lalu
katanya kepada orang itu: Inilah surat hutangmu, duduklah dan buat surat hutang
lain sekarang juga: Lima puluh tempayan.
16:7 Kemudian ia berkata kepada yang kedua: Dan berapakah
hutangmu? Jawab orang itu: Seratus pikul gandum. Katanya kepada orang itu:
Inilah surat hutangmu, buatlah surat hutang lain: Delapan puluh pikul.
16:8 Lalu tuan itu memuji bendahara yang tidak jujur itu,
karena ia telah bertindak dengan cerdik. Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik
terhadap sesamanya dari pada anak-anak terang.
16:9 Dan Aku berkata kepadamu: Ikatlah persahabatan
dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat
menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi."
16:10 "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara
kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar
dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.
16:11 Jadi, jikalau kamu tidak setia dalam hal Mamon yang
tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya?
16:12 Dan jikalau kamu tidak setia dalam harta orang
lain, siapakah yang akan menyerahkan hartamu sendiri kepadamu?
16:13 Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan.
Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain,
atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu
tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon."
16:14 Semuanya itu didengar oleh orang-orang Farisi,
hamba-hamba uang itu, dan mereka mencemoohkan Dia.
16:15 Lalu Ia berkata kepada mereka: "Kamu membenarkan
diri di hadapan orang, tetapi Allah mengetahui hatimu. Sebab apa yang dikagumi
manusia, dibenci oleh Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.