Rabu, 18 Oktober 2017
Bacaan Alkitab: 1 Raja-Raja 1:5-8
Maka berundinglah ia dengan Yoab, anak Zeruya dan dengan imam Abyatar dan
mereka menjadi pengikut dan pembantu Adonia. Tetapi imam Zadok dan Benaya bin
Yoyada dan nabi Natan dan Simei dan Rei dan para pahlawan Daud tidak memihak
kepada Adonia. (1 Raj 1:7-8)
Para Imam yang Terpecah Suaranya
Sejak saya lahir, kanak-kanak, hingga
saya dewasa, saya boleh dikatakan hidup di lingkungan para hamba Tuhan. Nenek
dan om saya adalah seorang pendeta di salah satu sinode gereja pentakosta. Pakde dan Bude (saya tidak tahu istilah bakunya dalam bahasa Indonesia) saya
juga adalah seorang pendeta pembantu di sinode gereja yang sama. Saya kemudian
bertumbuh di salah satu gereja karismatik lokal dimana gembala sidang saya
dulunya pernah menjadi ketua sinode gereja tersebut. Saya sendiri juga sering
terlibat di berbagai kegiatan yang melibatkan pendeta-pendeta dan kenal secara
pribadi kepada beberapa pendeta tersebut.
Oleh karena itu, bayangan saya sejak
saya kecil, seorang hamba Tuhan atau katakanlah pendeta, adalah orang-orang
yang luar biasa. Apalagi jika pendeta tersebut sering bersaksi: “Tuhan
berfirman kepada saya” atau “Kemarin saya datang kepada Tuhan dan Tuhan bukakan
banyak hal kepada saya”. Sepertinya para pendeta itu adalah orang-orang yang
luar biasa karena memiliki “jalur khusus” kepada Tuhan, apalagi karena mereka
juga sudah terbiasa mengajar dan berbicara di atas mimbar gereja. Tidak heran
bahwa pandangan saya dahulu (dan juga pandangan banyak orang Kristen) adalah
bahwa seorang pendeta atau hamba Tuhan pasti bisa mengerti kehendak Tuhan.
Nyatanya, seiring berjalannya waktu,
saya menemukan banyak hal yang tidak sesuai dengan premis awal saya tersebut.
Saya melihat bagaimana pendeta-pendeta berebut kekuasaan sebagai ketua sinode
dalam rapat atau sidang sinode. Saya melihat bagaimana dalam pilpres atau
pilkada, ada pendeta-pendeta yang bisa mendukung calon yang berbeda. Lucunya
lagi, masing-masing pendeta mengklaim bahwa ini adalah suara Tuhan untuk
mendukung calon mereka. Pertanyaannya, mungkinkah Tuhan berbicara berbeda
kepada pendeta itu? Kesimpulan saya pada akhirnya adalah pasti ada pendeta yang
berbohong dengan mengklaim mendengar suara Tuhan.
Dalam Perjanjian Lama, hal ini juga
sudah nampak jelas, yaitu ketika para imam bisa terpecah suaranya dalam
mendukung penerus Raja Daud. Imam di dalam Perjanjian Lama menggambarkan sosok
pelayan Tuhan yang menjadi “jembatan” antara umat dengan Tuhan. Di masa
Perjanjian Lama, imam seringkali menjadi tempat dimana rakyat/umat bertanya
tentang suara Tuhan bagi mereka. Jadi, bisa dikatakan bahwa bagi sebagian besar
rakyat Israel, posisi imam sangat terhormat. Bahkan sebagian mereka menganggap
bahwa suara imam pastilah suara Tuhan.
Namun demikian, ketika raja Daud sudah
tua, maka Adonia (anak kedua dari raja Daud setelah Absalom yang telah mati),
ingin naik menjadi raja menggantikan ayahnya (ay. 5). Adonia adalah anak yang
sangat baik dan santun, sehingga raja Daud tidak pernah menegor dirinya (ay.
6a), berbeda dengan Absalom yang lebih “liar” dan terlihat ambisinya yang haus
kekuasaan. Alkitab menulis juga bahwa Adonia juga sangat elok perawakannya (ay.
6b).
Maka Adonia pun berunding dengan
pihak-pihak yang selama ini mendukung raja Daud. Ia juga tidak sembarangan
memilih pendukungnya. Ia memilih Yoab, panglima Israel dan juga imam Abyatar
(ay. 7). Kita tidak akan berbicara tentang Yoab, tetapi akan lebih memfokuskan
kepada imam Abyatar. Imam Abyatar adalah salah satu keturunan dari para imam di
Nob, yang membantu Daud ketika ia melarikan diri dari Saul (1 Sam 22:20-22).
Imam Abyatar sejak awal sudah sering diminta Daud untuk menanyakan maksud Tuhan
melalui baju efod imamnya (1 Sam 23:9-12. 30:7-8). Ketika Daud menjadi raja,
Abyatar pun diangkat menjadi imam. Abyatar juga menjadi salah satu imam yang
tetap setia kepada raja Daud ketika Absalom memberontak (2 Sam 15:35).
Jadi dari gambaran di atas, kita dapat
melihat bahwa Abyatar adalah keturunan imam yang sudah banyak merasakan
pengalaman mengiring raja Daud, dari masa-masa sulit hingga masa keemasannya.
Ketika Adonia mengajukan diri sebagai raja menggantikan Daud, maka dalam
pandangan manusia normal, hal itu adalah hal yang wajar, karena memang Adonia
berkarakter baik, elok parasnya, dan juga ia sebenarnya berhak atas tahta raja
(jika merunut kepada kebiasaan kerajaan pada umumnya, dimana anak tertua
biasanya melanjutkan tahta kerajaan).
Namun demikian, ternyata ada satu lagi
pihak imam yang berbeda pandangan dengan imam Abyatar, yaitu imam Zadok dan
kelompoknya. Mereka tidak memihak kepada Adonia walaupun secara kebiasaan
turun-temurun, memang seharusnya Adonia yang naik menjadi raja menggantikan
Daud (ay. 8). Kita tidak tahu apakah Abyatar ketika memutuskan mendukung Adonia
sudah bertanya kepada Tuhan melalui baju efod imamnya. Akan tetapi, melihat
ending dari kisah ini, sangat mungkin Abyatar tidak sungguh-sungguh bertanya
kepada Tuhan mengenai penerus raja Daud. Ia hanya mengandalkan pemikirannya
sendiri dan kewajaran kerajaan lain pada umumnya sehingga ia mendukung Adonia.
Jadi kita lihat, pada masa Perjanjian
Lama saja, sudah ada imam-imam yang terpecah suaranya dalam mendukung penerus
raja Daud. Kita tidak tahu apa alasan perpecahan suara itu, tetapi kemungkinan
besar ada 2 hal yaitu: 1) mereka tidak sungguh-sungguh bertanya kepada Tuhan;
dan 2) ada kepentingan pribadi mereka dalam mendukung calon tertentu. Hal ini
ternyata juga nampak semakin jelas di negara kita, ketika sejumlah pendeta dan
gereja bisa terpecah dalam mendukung salah satu calon di pilkada atau pilpres.
Padahal, gereja sebenarnya tidak boleh masuk dalam politik praktis.
Memang seorang pendeta pun memiliki hak
demokrasi, yaitu untuk memilih dan juga dipilih. Tentu tidak salah jika seorang
pendeta memilih salah satu calon sesuai dengan pertimbangannya. Akan tetapi,
akan menjadi salah jika pendeta menyampaikan pilihannya tersebut dan
menggunakan mimbar gereja untuk mempengaruhi jemaatnya untuk memilih calon
pilihannya. Jika demikian, gereja menjadi begitu hina karena digunakan bukan
untuk menyampaikan kebenaran bagi kepentingan Tuhan dan kerajaan-Nya, tetapi
hanya bagi keuntungan pribadi pendeta tersebut.
Jadi jemaat Tuhan tidak perlu bingung
apabila ada pendeta-pendeta yang berbeda pendapat dalam sejumlah hal, termasuk
saat pilkada atau pilpres. Adalah wajar jika mereka berbeda pendapat karena
masih ada yang memiliki kepentingan pribadi di dalamnya. Namun jemaat Tuhan
harus berjuang untuk dewasa sehingga mampu mendengar suara Tuhan secara
pribadi. Di masa Perjanjian Baru, tidak ada imam-imam seperti di masa
Perjanjian Lama. Alkitab berkata bahwa kita adalah imamat yang rajani (1 Ptr
2:9). Oleh karena itu kita dapat berhubungan langsung kepada Tuhan, tentu
dengan standar kekudusan Tuhan yang juga harus kita jaga dalam hidup kita. Jangan
mudah percaya pada suara para imam, tetapi berjuanglah supaya kita dapat
mendengar suara Tuhan dan percayailah suara Tuhan tersebut.
Bacaan Alkitab: 1 Raja-Raja 1:5-8
1:5 Lalu Adonia, anak Hagit,
meninggikan diri dengan berkata: "Aku ini mau menjadi raja." Ia melengkapi
dirinya dengan kereta-kereta dan orang-orang berkuda serta lima puluh orang
yang berlari di depannya.
1:6 Selama hidup Adonia ayahnya belum
pernah menegor dia dengan ucapan: "Mengapa engkau berbuat begitu?" Ia
pun sangat elok perawakannya dan dia adalah anak pertama sesudah Absalom.
1:7 Maka berundinglah ia dengan Yoab,
anak Zeruya dan dengan imam Abyatar dan mereka menjadi pengikut dan pembantu
Adonia.
1:8 Tetapi imam Zadok dan Benaya bin
Yoyada dan nabi Natan dan Simei dan Rei dan para pahlawan Daud tidak memihak
kepada Adonia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.