Jumat, 9 September 2016
Bacaan
Alkitab: 1 Korintus 5:1-2
Memang orang mendengar, bahwa ada percabulan di antara kamu, dan percabulan
yang begitu rupa, seperti yang tidak terdapat sekalipun di antara bangsa-bangsa
yang tidak mengenal Allah, yaitu bahwa ada orang yang hidup dengan isteri
ayahnya. (1 Kor 5:1)
Dosa yang Memalukan
Kita semua pasti pernah berbuat dosa.
Namun kita harus juga menyadari bahwa dosa pun memiliki beberapa tingkatan. Ada
dosa-dosa yang bisa dibilang umum, seperti berbohong. Ada dosa-dosa yang hanya
diketahui oleh orang yang bersangkutan, seperti sombong. Ada pula dosa-dosa
yang terlihat sangat mencolok dan biasanya dipandang lebih berat oleh
masyarakat, khususnya di negara timur seperti Indonesia. Dosa yang dipandang
lebih berat ini biasanya adalah dosa terkait pelanggaran norma-norma di
masyarakat, misalnya saja mencuri dan juga dosa seksual.
Dosa seksual sendiri juga
bermacam-macam. Dan di seluruh peradaban dunia, dosa seksual ini sudah ada
sejak dahulu kala, yaitu dosa percabulan. Dalam masyarakat Indonesia pada
umumnya pun, dosa percabulan dipandang lebih berat daripada dosa lainnya.
Apalagi di beberapa waktu terakhir dimana sempat beberapa kali terjadi
pemerkosaan terhadap anak-anak di bawah umur di negeri kita, begitu banyak
masyarakat yang mencemooh pelakunya.
Hal ini pun sudah nampak pada masa
jemaat mula-mula. Pada waktu itu, ketika kekristenan baru saja berkembang,
jemaat mula-mula sudah disorot karena ada jemaat yang melakukan dosa yang
memalukan. Dosa tersebut adalah dosa percabulan yang sangat parah, dalam hal
ini ada orang yang hidup dengan isteri ayahnya (ay. 1). Dewasa ini, banyak
gereja juga sepertinya mulai menganggap wajar dosa seksual yang terjadi di
jemaat, atau bahkan di pendetanya. Coba saja tengok, berapa banyak pemudi-pemudi
di gereja yang hamil duluan sebelum nikah? Berapa banyak laki-laki yang masih
sering ke tempat prostitusi? Berapa banyak pemuda yang suka menonton video
porno?
Harus diakui bahwa semakin hari, hal
tersebut semakin wajar di pandangan manusia dunia. Ketika masyarakat liberal
justru lebih menyorot tentang persamaan hak-hak kaum LGBT, gereja dihadapkan
pada sikap tetap konsisten dengan prinsipnya atau kompromi dengan prinsip
dunia. Tidak mengherankan bila di sejumlah gereja di negara barat, sudah sangat
umum dilakukan pernikahan sesama jenis.
Di Indonesia sendiri walau gereja masih
menolak pernikahan sesama jenis, namun gereja sudah mulai kompromi dengan
mengijinkan perceraian, pernikahan bagi yang sudah bercerai, pernikahan bagi
mereka yang hamil di luar nikah, bahkan pernikahan yang kedua atau ketiga. Ini
menunjukkan adanya ketidakberesan gereja terkait sikapnya terhadap dosa
percabulan.
Rasul Paulus sudah mengingatkan akan
hal ini sekitar 2.000 tahun yang lalu. Ketika dunia menganggap penyimpangan
seksual bukanlah dosa tetapi merupakan suatu keadaan harus diterima dalam
rangka hak asasi manusia, maka gereja pun harus berani bersikap. Sayangnya
cukup banyak gereja yang bersikap sombong (ay. 2a). Sombong di sini berarti
gereja tidak pernah mau dikritisi dan diluruskan. Padahal cukup banyak gereja (dan
juga cukup banyak pendeta) yang sebenarnya sudah salah jalan, namun dengan
pertimbangan pastoral (supaya jemaat tidak kabur ke tempat lain), akhirnya percabulan
dipandang sebagai hal yang wajar di gereja tersebut.
Paulus menegur jemaat di Korintus
dengan kata-kata yang sangat frontal, yaitu seharusnya jika dosa yang memalukan
itu (dosa percabulan) muncul di dalam gereja, maka gereja (termasuk pendeta dan
hamba Tuhan) seharusnya berdukacita (ay. 2b). Berdukacita di sini artinya
bertobat dengan sungguh-sungguh, menyesal dengan sangat, dan mencoba
memperbaiki jemaat supaya tidak terjadi lagi dosa yang memalukan tersebut.
Namun kenyataannya, cukup banyak gereja (dan juga pendeta) yang justru dengan
bangganya memamerkan pernikahan jemaatnya yang sudah hamil duluan karena seks
sebelum nikah.
Padahal seharusnya pemimpin gereja
harus berani menjauhkan orang yang melakkan hal itu dari tengah-tengah jemaat
(ay. 2c). Mengapa Paulus sampai sekeras itu? Karena dosa percabulan/dosa
seksual adalah dosa yang sangat mudah menular dan menyebar. Sikap
gereja/pendeta yang tidak bijak dalam menangani dosa percabulan (misal:
mengijinkan pelaku dosa percabulan tetap melayani karena ia adalah anak
pendeta), maka hal tersebut akan membuat pemuda/pemudi yang lain menganggap “Oh,
jadi kalo kita melakukan dosa seksual, kan tetap bisa melayani”. Hal ini tidak
akan menyelesaikan masalah, tetapi dalam hangka panjang akan merusak gereja
tersebut dan membuat gereja/jemaat menjadi semakin parah.
Bacaan
Alkitab: 1 Korintus 5:1-2
5:1 Memang orang mendengar, bahwa ada
percabulan di antara kamu, dan percabulan yang begitu rupa, seperti yang tidak
terdapat sekalipun di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, yaitu bahwa
ada orang yang hidup dengan isteri ayahnya.
5:2 Sekalipun demikian kamu sombong.
Tidakkah lebih patut kamu berdukacita dan menjauhkan orang yang melakukan hal
itu dari tengah-tengah kamu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.