Selasa, 12 Desember 2017
Bacaan
Alkitab: Matius 7:6-8
"Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan
kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan
kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu." (Mat 7:6)
Anjing dan Babi dalam Alkitab (41): Tidak Layak Menerima
Barang yang Kudus
Mulai hari ini kita akan membahas
mengenai kata anjiing dan babi di dalam Alkitab Perjanjian Baru, setelah
sebelumnya kita telah belajar sebanyak 40 renungan mengenai kata anjing dan
babi di dalam Perjanjian Lama. Bahasa Yunani yang digunakan di dalam Perjanjian
Baru lebih spesifik dalam menjelaskan kata anjing dan babi jika dibandingkan
dengan bahasa Ibrani di dalam Perjanjian Lama. Ayat dalam renungan kita hari
ini diucapkan langsung oleh Tuhan Yesus sendiri dalam khotbah di atas bukit. Tentu
untuk memahami ayat nats kita hari ini, sebaiknya kita membaca keseluruhan isi
khotbah di atas bukit yang disampaikan oleh Tuhan Yesus sendiri.
Tuhan Yesus berkata kepada
murid-murid-Nya dan juga kepada orang banyak, supaya mereka tidak memberikan
barang yang kudus kepada anjing dan tidak melemparkan mutiara kepada babi (ay.
6a). Kita tahu bahwa anjing dan babi adalah binatang yang najis. Oleh karena
itu adalah ironi jika kita memiliki barang yang kudus tetapi memberikan atau
melemparkannya kepada mereka yang najis. Menjadi pertanyaan bagi kita, jika
sesuatu yang najis kena kepada barang yang kudus, apakah yang najis akan
menjadi kudus ataukah yang kudus akan menjadi najis? Tentu kita akan menjawab
bahwa barang yang kudus tersebut juga akan menjadi najis. Itulah sebabnya di
dalam Perjanjian Lama, orang-orang yang dikuduskan seperti imam tidak boleh
kena kepada sesuatu yang najis (Im 21:1)
Memang kekudusan itu pasti tidak bisa
berjalan beriringan dengan kenajisan. Bahkan sebenarnya jika seseorang memiliki
barang yang kudus, tidak mungkin orang tersebut dengan sadar dan sukarela
memberikan barang yang kudus kepada binatang yang najis. Kita tahu bahwa anjing
dan babi dalam ayat ini memiliki suatu kesamaan yaitu sama-sama najis, meskipun
terdapat perbedaan di antara kedua hewan tersebut. Babi, walaupun najis dan
haram, paling hanya berkubang dalam lumpur tetapi tidak akan menyalak dan menggigit.
Sementara itu anjing adalah binatang najis dan haram (di pandangan bangsa
Israel) yang juga bisa menyalak, menggonggong, dan menggigit.
Di sisi lain, barang yang kudus sejajar
dengan mutiara. Mutiara menggambarkan suatu benda yang sangat berharga pada
masa itu karena mencarinya cukup sulit, yaitu harus menyelam ke dalam laut dan mengambilnya
dari kerang. Mutiara menggambarkan kesempurnaan dan kemewahan karena bentuknya
yang bundar, membutuhkan waktu yang cukup lama, terbentuk secara alami, dan
juga sulit didapatkan. Oleh karena itu, adalah hal yang kurang kerjaan jika ada
orang yang mencoba melemparkan mutiara yang ia miliki kepada babi. Perhatikan penggunaan
akhiran “-mu” pada ayat tersebut yang menunjukkan bahwa orang tersebut tidak
melemparkan mutiara milik orang lain tetapi mutiara miliknya sendiri. Kata
melemparkan dalam bahasa aslinya berasal dari kata dasar βάλλω (balló) yang dapat
diartikan selain melempar dengan usaha dan kekuatan (seperti melempar batu ke
suatu objek tertentu), namun juga dapat diartikan melempar tanpa usaha dan kekuatan
(seperti melempar pelan atau menggelindingkan untuk memberikan kepada suatu
objek tertentu). Dalam ayat ini, saya cenderung menggunakan arti yang kedua
yaitu mutiara tersebut tidak dilempar dengan usaha dan tenaga kepada babi untuk
menyakiti babi tersebut, tetapi seperti melempar pelan untuk memberikan mutiara
kepada si babi.
Jadi dalam hal ini Tuhan ingin
menekankan bahwa secara manusiawi, tidak mungkin ada orang yang memberikan
barang yang kudus kepada anjing dan juga melemparkan (atau memberikan) mutiara
kepada babi. Mengapa demikian, di satu sisi tidak mungkin barang yang kudus
diberikan kepada binatang yang najis dengan tujuan untuk menguduskan binatang
tersebut. Justru yang terjadi adalah barang kudus tersebut menjadi najis.
Demikian pula dengan mutiara yang berharga, tidak mungkin ada orang yang
memberikan mutiara miliknya kepada babi dengan tujuan apapun, entah supaya si
babi terlihat cantik atau terlihat mahal.
Hanya orang bodoh yang mau memberikan barang
yang kudus kepada anjing dan memberikan mutiara kepada babi. Dampak dari
tindakan yang bodoh tersebut adalah bahwa binatang-binatang tersebut (yaitu
binatang yang najis dan haram) tidak mengerti akan berharganya barang yang
diberikan kepada mereka. Babi yang diberikan mutiara mungkin justru menghilangkan
mutiara atau menenggelamkannya ke dalam lumpur, bahkan bisa jadi mutiara
tersebut disangka sebagai makanan dan dimakan oleh si babi.
Sementara itu, anjing mungkin bisa
lebih berbahaya daripada babi. Niat kita memberikan barang yang kudus kepada
anjing dapat disangka sebagai benda yang tidak berharga, sebagai makanan, atau
sebagai mainan semata. Anjing akan menginjak-injak benda yang kudus tersebut
bahkan ketika ternyata benda tersebut tidak bisa dimakan atau digigit, maka
anjing tersebut akan berbalik mengoyak orang yang memberikannya. Anjing tidak akan
dapat mengerti dan menghargai kekudusan, sama seperti babi tidak akan dapat
mengerti nilai atau harga suatu benda yang diberikan kepadanya.
Ayat tersebut sebenarnya mengandung
kebenaran yang dalam terutama jika dikaitkan dengan ayat setelahnya. Jika Tuhan
sendiri berkata supaya kita tidak memberikan barang yang kudus kepada anjing
dan tidak memberikan mutiara milik kita kepada babi, maka seperti itulah
karakter Tuhan. Tuhan tidak mungkin memberikan barang yang kudus dan berharga kepada
orang-orang yang masih hidup dalam kenajisan (yang digambarkan dengan binatang
anjing dan babi). Tuhan tidak mungkin menyampaikan kebenaran yang murni kepada
mereka yang masih hidup secara duniawi, yang antara lain masih menikmati kesenangan
dunia, apalagi yang masih hidup dalam dosa dan kenajisan.
Orang-orang yang masih hidup dalam dosa
dan kenajisan ini diibaratkan sebagai babi, yang pasti tidak akan pernah dapat
mengerti arti atau nilai dari kebenaran dan keselamatan. Kalaupun kepada mereka
ditawarkan kebenaran dan keselamatan, maka mereka akan memandang rendah dan
tidak akan pernah dapat menghargainya dengan pantas. Sementara itu ada pula
orang-orang seperti ini yang selain masih hidup dalam dosa dan kenajisan,
tetapi juga suka bersuara keras dan bahkan menyerang orang yang menyampaikan
kebenaran kepadanya. Jadi anjing jelas lebih berbahaya daripada babi. Lebih
berbahaya lagi jika ternyata anjing dan babi ini juga ada di dalam
gereja/jemaat.
Oleh karena itu, menarik jika di ayat
selanjutnya Tuhan berfirman kepada murid-murid-Nya (yaitu mereka yang mau
mendengarkan suara Tuhan Yesus) supaya mereka meminta, mencari, dan mengetuk
(ay. 7). Ayat 7 ini sering disalahartikan oleh kebanyakan orang Kristen
(termasuk juga oleh para pendeta dan pengkhotbah) tentang doa orang Kristen.
Dikesankan bahwa jika kita berdoa kepada Tuhan, maka kita harus yakin meminta
karena pasti akan diberikan. Atau dikesankan bahwa Tuhan pasti menjawab asalkan
kita terus menerus berdoa dengan setia, seperti orang yang sedang mencari hingga
memperoleh atau mengetuk hingga pintu dibukakan (ay. 8).
Hal tersebut membangun pemahaman dalam
diri kebanyakan orang Kristen bahwa Tuhan dapat diatur oleh kehendak manusia. Tuhan
bisa tergerak hatinya jika ada manusia yang terus menerus berdoa. Akibatnya,
banyak orang berdoa meminta sesuatu yang sebenarnya salah tetapi mereka yakin
karena mereka terus menerus berdoa maka doanya pasti dijawab Tuhan (setelah beberapa
waktu lamanya). Jika demikian, bukankah itu menggambarkan Tuhan yang lemah dan
tak berdaya karena pasti memenuhi apa yang diinginkan manusia?
Saya sendiri percaya bahwa Tuhan kita adalah
Tuhan yang penuh kasih, yang begitu mengasihi manusia termasuk anda dan saya.
Tetapi, Tuhan juga adalah Tuhan yang berdaulat. Sebenarnya, jika kita berdoa
dengan sungguh-sungguh dan tidak berkeputusan, maka Tuhan bisa saja menjawab
doa kita dan memberikan kepada kita seperti apa yang kita minta. Tetapi itu
semua biasanya terjadi ketika kita masih kanak-kanak secara rohani atau ketika
kita belum dewasa. Jika kita belum dewasa, Tuhan bisa jadi menjawab doa-doa
kita supaya kita semakin percaya kepada-Nya dan semakin mencari kehendak Tuhan.
Sayangnya banyak orang Kristen berhenti sampai di titik tersebut, dan dari
pengalaman hidupnya di masa lalu, mereka menyimpulkan bahwa doa orang Kristen
pasti dijawab Tuhan.
Mestinya, seiring pertumbuhan rohani
kita dari kanak-kanak hingga menjadi dewasa, kita mulai belajar mencari tahu
kehendak Tuhan dalam hidup kita. Jika dahulu kita sering meminta kepada Tuhan
tanpa memperkarakan apa kehendak Tuhan dan isi hati Tuhan, maka sekarang kita
harus belajar memperlakukan Tuhan dengan sepantasnya. Doa tidak boleh lagi
dipandang sebagai rengekan anak kecil kepada bapanya untuk meminta sesuatu yang
memuaskan hati anak tersebut. Doa harus dipandang sebagai komunikasi antara
anak dengan bapanya untuk mengerti apa kehendak bapanya, supaya si anak dapat
menyenangkan hati bapanya. Oleh karena itu semakin kita dewasa rohani, maka
sikap kita dalam berdoa harus berubah, dari dahulu yang meminta ini itu dan
bahkan setengah memaksa Tuhan, maka sekarang mungkin kita harus mulai belajar
untuk tidak meminta apapun dalam doa-doa kita, selain meminta kita untuk boleh semakin
mengerti kehendak-Nya dan semakin hidup berkenan di hadapan-Nya.
Jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya,
kita akan paham bahwa kebenaran ini mahal harganya. Kebenaran ini tidak akan dapat
dimengerti atau diterima oleh orang-orang yang sikapnya masih seperti anjing
atau babi. Orang-orang yang hidupnya masih duniawi pasti akan menolak
pengajaran seperti ini, karena mereka masih ingin berkubang dalam kenikmatan
dunia. Mereka tidak akan mau diajak untuk berjuang mengerti kehendak Tuhan
karena pada dasarnya mereka masih ingin dimengerti oleh Tuhan. Orang-orang
seperti ini pasti akan menolak kebenaran Tuhan yang murni.
Lebih parah lagi jika ada orang-orang
yang bersikap seperti anjing. Ketika diberitakan kebenaran yang murni maka
mereka justru akan membalas bahkan bersikap kasar. Kata-kata mereka ibarat
gonggongan anjing yang justru menyakiti orang lain. Kata-kata mereka begitu
pedas bahkan cenderung bisa dikatakan menghujat orang yang menyampaikan
kebenaran dengan maksud supaya mereka kembali kepada jalan yang benar.
Saya sendiri sudah pernah bertemu
dengan orang-orang seperti ini. Ada orang-orang seperti babi yang sudah tidak
mungkin lagi menerima kebenaran yang murni karena hati mereka sudah terikat
dengan kenikmatan dunia, dosa-dosa dan kenajisan yang selama ini mereka
lakukan. Tetapi di sisi lain ada juga orang-orang seperti anjing yang merasa
paling benar dan menolak kebenaran yang disampaikan. Bahkan kata-kata yang
diucapkan benar-benar tidak pantas keluar dari mulut seseorang yang “katanya”
adalah orang Kristen. Kepada orang-orang yang tidak menghargai kebenaran tersebut,
kita tentu harus tetap mengasihinya dan terus mendoakannya sambil berusaha menyadarkan
akan kesalahannya. Namun demikian kita perlu bertanya kepada Tuhan dan peka
terhadap suara Tuhan, apakah kita terus memberitakan kebenaran kepada mereka,
atau lebih baik memberitakan kebenaran kepada orang lain yang lebih terbuka
hatinya? Karena selama orang-orang tersebut tidak mau bertobat, maka selama itu
pula kebenaran yang disampaikan tidak akan pernah mereka hargai dan tidak akan
pernah mengubah hidup mereka.
Di sisi lain, orang-orang yang hatinya
terbuka akan rindu terus menerus mengenal Tuhan dan kebenaran-Nya. Orang-orang
seperti ini akan terus mau diproses oleh Tuhan melalui hal-hal sulit dalam
hidupnya untuk menemukan kehendak Tuhan. Orang-orang seperti ini akan dengan
rendah hati menerima teguran yang mendewasakan dirinya. Orang-orang seperti ini
hanya akan meminta 1 hal dalam hidupnya, meminta Tuhan memproses dirinya supaya
semakin berkenan dan sempurna di hadapan-Nya. Orang-orang seperti inilah yang
haus dan lapar akan kebenaran, yang terlihat dari kesucian hidup mereka dan
yang menghargai Tuhan dengan pantas. Mereka akan semakin berkenan di hadapan
Tuhan, tidak sibuk dengan hal-hal yang tidak perlu, bahkan hanya akan berbicara
mengenai hal-hal yang bersifat kekal. Sebaliknya para anjing dan babi akan
semakin hidup dalam dosa dan kenajisan dan semakin sibuk menyalak dan
menggonggong menyerang pihak lain. Hal itu menunjukkan bahwa anjing dan babi memang
tidak layak menerima barang yang kudus dan kebenaran yang bernilai mahal.
Bacaan
Alkitab: Matius 7:6-8
7:6 "Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan
kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan
kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu."
7:7 "Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan
mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.
7:8 Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang
mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.