Senin, 18 Desember 2017

Anjing dan Babi dalam Alkitab (47): Anjing Kembali Lagi ke Muntahnya, Babi yang Mandi Kembali Lagi ke Kubangannya



Senin, 18 Desember 2017
Bacaan Alkitab: 2 Petrus 2:20-22
Bagi mereka cocok apa yang dikatakan peribahasa yang benar ini: "Anjing kembali lagi ke muntahnya, dan babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya." (2 Ptr 2:22)


Anjing dan Babi dalam Alkitab (47): Anjing Kembali Lagi ke Muntahnya, Babi yang Mandi Kembali Lagi ke Kubangannya


Peribahasa sebagaimana judul renungan kita di atas mungkin hanya ada di dalam Alkitab. Dan peribahasa tersebut sudah ada sekitar 2.000 tahun yang lalu, berbeda dengan peribahasa dalam bahasa Indonesia atau Melayu yang ada kira-kira ratusan tahun yang lalu sehingga makna orisinalnya masih dapat kita pahami. Tetapi peribahasa yang ada 2.000 tahun yang lalu tentu lebih sulit dimengerti.

Untuk memahami hal tersebut, pertama-tama kita perlu mengerti kepada siapa Petrus menulis tulisan tersebut. Jika kita memperhatikan perikop ayat nats kita, maka kita akan mengerti bahwa yang dimaksud dengan “mereka” sesungguhnya adalah guru-guru palsu. Penjelasan mengenai guru-guru palsu dapat kita lihat di ayat-ayat sebelumnya, dimana ciri-ciri dan kelakuan guru palsu telah dijabarkan dengan panjang lebar oleh Rasul Petrus. Konteks khusus peribahasa tersebut memang adalah guru-guru palsu. Tetapi jika kita memperhatikan ayat 20 s.d. ayat 22, maka kita akan menemukan bahwa peribahasa tersebut juga dapat dikenakan pada mereka yang melakukan tindakan sebagaimana tertulis dalam ayat 20 s.d. 22 tersebut.

Rasul Petrus menulis bahwa ada orang-orang (yang disebut sebagai “mereka”), yang telah mengenal akan Tuhan Yesus Kristus dan telah melepaskan diri dari kecemaran-kecemaran dunia (ay. 20a). Kata kecemaran dalam bahasa aslinya adalah μίασμα (miasma) yang juga dapat diartikan sebagai pollution (spiritual stain) that results from vice, i.e. spiritually contaminating a person (suatu polusi/noda yang disebabkan karena kebiasaan-kebiasaan buruk yang mengotori/mencemarkan/membahayakan seseorang secara rohani). Jadi kecemaran ini dimulai dari kebiasaan-kebiasaan buruk yang terus menerus masuk ke dalam jiwa seseorang sehingga mereka menjadi cemar dan terkontaminasi/terpolusi oleh pengaruh-pengaruh dunia yang jahat dan membahayakan.

Namun demikian, karena mereka mengenal Tuhan, mereka pun akhirnya “sempat” melepaskan diri dari kecemaran dunia itu. Mereka seakan-akan keluar atau lari dari hal-hal yang merusak tersebut. Namun demikian, ternyata mereka melakukan kesalahan. Apa kesalahan mereka? Mereka memang sudah bisa move on dari dosa-dosa dan kejahatan di masa lalu, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh berani mempertaruhkan semuanya untuk masuk ke dalam kebenaran. Lambat laun mereka mulai lupa dengan semangat melepaskan diri dari kecemaran dan terlibat lagi di dalam kecemaran tersebut.

Kata “terlibat lagi” (ay. 20b) dalam bahasa aslinya menggunakan 2 kata yaitu adalah ἐμπλέκω (emplekó) dan ἡττάομαι (héttaomai). Beberapa terjemahan Alkitab lain memuat 2 kata tersebut misalnya Alkitab Terjemahan Lama Bahasa yang menulis “terjerat di dalam segala perkara itu serta dialahkan”, atau Alkitab terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari yang menulis “ia terjerat lagi sehingga dikalahkan oleh kuasa-kuasa itu”. Alkitab terjemahan bahasa Inggris juga rata-rata menuliskan 2 kata seperti terjemahan New International Version yang menulis “are again entangled in it and overcome” atau terjemahan King James Version yang menulis “are again entangled therein, and overcome”.

Kata pertama yaitu emplekó dapat diartikan sebagai to weave in, to entwine, to involve with (terjalin, terbelit, terlibat). Jadi makna kata tersebut adalah sampai terikat dan terjalin lagi dalam kesalahan yang dulu pernah dilakukan. Tentu mereka yang dahulu pernah hidup dalam kecemaran memiliki potensi dan risiko yang lebih besar untuk jatuh kembali dalam kesalahan yang sama tersebut. Perjuangan mereka adalah untuk mengalahkan godaan terlibat kembali dalam dosa dan kesalahan yang sama.

Tidak semua orang dapat menang terhadap godaan dan ujian tersebut. Ada orang-orang yang akhirnya dikalahkan (héttaomai) oleh kecemaran tersebut. Kata héttaomai sendiri dapat diartikan sebagai to be made inferior, to be overcome, worsted (dijadikan lebih rendah, dikalahkan, dikuasai, dilemahkan, diperburuk). Seseorang boleh saja melakukan suatu kesalahan, dan itu adalah suatu hal yang buruk. Namun demikian, jika ada orang yang sudah bisa lepas namun kembali jatuh ke dalam kesalahan yang sama, maka orang itu benar-benar ditaklukkan oleh kesalahannya sehingga kesalahan yang terkemudian adalah lebih buruk dari kesalahan yang pertama.

Kalimat “keaadaan mereka lebih buruk dari pada yang semula” tidak hanya sekedar menggambarkan keadaan atau hidup orang tersebut, tetapi lebih menekankan keadaan kesalahan mereka. Kesalahan yang pertama mungkin dilakukan dalam ketidaktahuan atau kekurangtahuan. Mereka belum memiliki pengalaman sehingga dapat melakukan kesalahan yang pertama tersebut. Tetapi ketika seseorang berkata bahwa saya sudah move on dari kesalahan yang pertama, namun kemudian ternyata mengulangi kesalahannya lagi (kesalahan yang kedua atau selanjutnya), maka kesalahan yang terkemudian tersebut tentu lebih fatal atau lebih buruk daripada kesalahan yang pertama.

Orang bisa saja beralasan khilaf ketika melakukan suatu kesalahan (apalagi kesalahan yang pertama), tetapi alasan khilaf tersebut tidak dapat digunakan lagi ketika ia melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari. Kesalahan yang kedua dan seterusnya bukanlah suatu kekhilafan, tetapi suatu keputusan yang disengaja. Oleh karena itu kalimat dalam Alkitab Terjemahan Lama Bahasa Indonesia saya rasa lebih tepat untuk menggambarkan hal ini: “maka hal yang akhir itu sudah menjadi lebih jahat daripada awalnya”. Kalimat yang sama dalam Alkitab bahasa Inggris versi King James Version juga menyebutkan kalimat yang hampir sama yaitu “the latter end is worse with them than the beginning”. Kalimat “the latter” (yang terkemudian) tidak hanya merujuk pada kehidupan orang tersebut tetapi juga kepada kesalahan yang dilakukan oleh orang itu.

Oleh karena itu, pertobatan harus dimaknai dengan benar. Pertobatan tidak hanya sekedar menangis tersedu-sedu di gereja tetapi kemudian di rumah tetap kembali ke dosa yang sama. Pertobatan yang sejati harus ditunjukkan dengan niat yang benar dan kuat untuk meninggalkan dan melepaskan diri dari dosa. Tidak cukup hanya berkata tidak kepada dosa, tetapi harus berani lari dari dosa. Sama seperti Yusuf yang konsisten menolak rayuan istri Potifar bahkan sampai berani lari meninggalkannya ketika dosa sudah nyaris merenggut imannya (Kej 39:12).

Jadi, jika ada orang yang sudah melakukan kesalahan tetapi kemudian mengenal kebenaran dan tahu bahwa hal tersebut salah, tetapi kemudian kembali kalah oleh godaan dan melakukan kesalahan yang sama, maka adalah lebih baik bagi mereka untuk tidak pernah mengenal kebenaran (ay. 21). Mengapa demikian? Kita tahu bahwa ukuran penghakiman adalah apa yang telah mereka dengar dan ketahui. Orang yang diberi banyak akan dituntut lebih banyak dari diri mereka (Luk 12:48). Jadi jika mereka telah mengenal atau telah mengetahui jalan yang benar, tetapi kemudian berbalik, maka mereka jauh lebih buruk daripada orang-orang yang tidak memiliki kesempatan mengenal kebenaran (misal: mereka yang tinggal di pedalaman dan tidak pernah mendengar Injil, atau mereka yang hidup di masa Perjanjian Lama).

Kata berbalik dalam bahasa aslinya adalah ὑποστρέφω (hupostrephó) yang selain dapat diartikan to turn back (berbalik atau memutar), juga dapat diartikan to return (pulang kembali). Jadi orang yang masih bisa berbalik (hupostrephó) adalah mereka yang masih belum memiliki tujuan yang jelas. Rumah mereka adalah dunia ini, bukan langit yang baru dan bumi yang baru. Kewarganegaraan mereka adalah di dunia ini, bukan kewarganegaraan surga. Kenikmatan mereka adalah segala hal yang ada di dunia ini, bukan melakukan kehendak Bapa. Cinta mereka adalah kesenangan dunia, bukan memikul salib dan menyangkal diri.

Oleh karena itu, selama orang belum sungguh-sungguh bertobat dan lahir baru, maka ia belum memiliki pribadi yang baru. Orang seperti ini sangat mungkin datang ke gereja, bahkan terlibat pelayanan, namun pribadi mereka belum mencerminkan pribadi Kristus. Mereka boleh saja beragama Kristen tetapi mereka tidak mau mengikut jejak kehidupan Yesus Kristus. Perlu dipahami bahwa lahir baru di sini bukan hanya sekedar percaya Tuhan Yesus lalu sudah lahir baru. Lahir baru harus dimaknai sebagai lahirnya pribadi baru di dalam Kristus yang ditandai dengan kehidupan yang tidak lagi mengingini dosa dan hal-hal yang tidak berkenan di hadapan Tuhan, dan itu membutuhkan proses yang panjang, sama seperti bayi yang harus diproses di dalam kandungan selama 9  bulan untuk bisa siap lahir ke dalam dunia.

Jika ada orang yang sudah mengenal dan tahu mengenai jalan kebenaran (yaitu jalan yang benar di dalam Tuhan) tetapi mereka memilih untuk kembali melakukan kesalahan yang sama, maka hal tersebut nyaris sama dengan peribahasa ini: Anjing kembali lagi ke muntahnya, dan babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya (ay. 22). Hidupnya ibarat anjing yang sudah muntah (memuntahkan isi perutnya), tetapi ia kembali lagi ke muntahannya, dan kemudian memakannya lagi.

Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Terjemahan Lama, kalimat dalam ayat ini berbunyi “Anjing berbalik menjilat muntahnya”. Jadi jika kita mengenal peribahasa “menjilat ludah sendiri” untuk menggambarkan orang yang terburu-buru mengucapkan perkataan kemudian menarik kembali perkataannya, maka kalimat “anjing berbalik menjilat muntahnya” juga dapat berarti orang yang sudah berkoar-koar bertobat dan move on dari kesalahannya di masa lalu, tetapi ternyata tidak dapat melawan godaan untuk mengulanginya kembali. Akibatnya, terjadi lagi dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan tersebut, dengan cara yang nyaris sama ketika ia melakukan kesalahan yang pertama.

Hal ini ibarat seekor babi yang mandi atau dimandikan, kemudian ternyata kembali lagi ke kubangannya. Sekeras apapun usaha untuk membersihkan dan memandikan babi, bahkan dengan menggunakan sabun yang mahal, selama babi itu masih tetap babi, maka ia akan memiliki naluri untuk kembali ke kubangan dan mengotori dirinya. Jadi secantik apapun kita mendandani seekor babi untuk menjadi “ratu babi”, namun jika kodrat kebabiannya masih tetap sama, maka ratu babi itu pasti akan kembali ke kubangan lumpur.

Menarik melihat bahwa ini adalah ayat ketiga dan terakhir di dalam Alkitab yang memuat kata anjing dan babi dalam satu ayat. Menariknya, dalam  bahasa aslinya, kata babi di ayat ini menggunakan kata  yang berbeda dengan kata babi di ayat-ayat sebelumnya. Dalam ayat-ayat sebelumnya, yaitu mengenai perintah untuk tidak memberikan mutiara kepada babi, peristiwa roh jahat yang masuk ke kawanan babi, dan perumpamaan anak bungsu yang menjadi penjaga babi, kata babi dalam ayat-ayat tersebut adalah χοῖρος (choiros) yaitu babi jantan. Namun demikian dalam 2 Petrus 2:22, kata babi dalam bahasa aslinya menggunakan kata ὗς atau ὑός (hus) yang berarti babi betina. Dalam bahasa Inggris, kata hus ini juga diterjemahkan dengan kata sow, yang didefinisikan sebagai an adult female pig, especially one that has farrowed (babi betina dewasa, terutama yang sudah melahirkan anak babi).

Jadi babi di ayat ini lebih kepada babi betina yang sudah dewasa, yang telah melahirkan anak-anak babi, bukan babi-babi jantan yang biasanya dijadikan hewan ternak pada masa itu. Saya sendiri tidak memelihara babi sehingga tidak tahu apakah hanya kebiasaan babi betina untuk berkubang di dalam lumpur, ataukah memang peribahasa tersebut bunyinya demikian sejak 2.000 tahun yang lalu. Akan tetapi menarik bahwa kalimat peribahasa ini tentu lebih menekankan bagaimana selama babi tetap menjadi babi, maka selama itu pula ia tidak akan bisa berubah.

Hal ini menggambarkan bahwa perubahan dan pertobatan tidaklah sederhana. Orang tidak dapat berkata bahwa ia sudah bertobat lalu kemudian ia bisa dipercaya tanpa dikontrol dan diawasi. Dalam situasi tertentu, naluri dosa bisa datang kembali dan menguji pertobatannya tersebut, apakah ia sungguh-sungguh bertobat atau hanya bertobat di bibir supaya dipandang baik oleh orang lain.

Ingat bahwa konteks ayat ini sebenarnya adalah kepada guru-guru palsu yang sudah bertobat dan mengenal kebenaran, tetapi ternyata mengajarkan apa yang salah bahkan hidup menurut jalan yang salah tersebut. Mereka tidak hanya merusak diri mereka sendiri tetapi juga merusak orang lain yang mereka ajar. Ayat tersebut juga berlaku bagi orang-orang yang kembali melakukan kecemaran-kecemaran dunia, yaitu dosa, kesalahan, dan kejahatan yang dahulu pernah mereka lakukan sebelum mengenal kebenaran, tetapi kini setelah tahu apa yang benar, mereka kembali melakukannya. Kepada merekalah peribahasa ini berlaku. Selama mereka tidak sungguh-sungguh bertobat, maka sebenarnya mereka pantas disebut dengan “anjing” dan “babi”.



Bacaan Alkitab: 2 Petrus 2:20-22
2:20 Sebab jika mereka, oleh pengenalan mereka akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus, telah melepaskan diri dari kecemaran-kecemaran dunia, tetapi terlibat lagi di dalamnya, maka akhirnya keadaan mereka lebih buruk dari pada yang semula.
2:21 Karena itu bagi mereka adalah lebih baik, jika mereka tidak pernah mengenal Jalan Kebenaran dari pada mengenalnya, tetapi kemudian berbalik dari perintah kudus yang disampaikan kepada mereka.
2:22 Bagi mereka cocok apa yang dikatakan peribahasa yang benar ini: "Anjing kembali lagi ke muntahnya, dan babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.