Jumat, 15 Desember 2017
Bacaan
Alkitab: Lukas 15:11-19
Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu
menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. Lalu ia ingin mengisi perutnya
dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorang pun yang
memberikannya kepadanya. (Luk 15:15-16)
Anjing dan Babi dalam Alkitab (44): Dahulu Anak yang
Terhormat, Sekarang Menjadi Penjaga Babi
Kita telah belajar bahwa bagi bangsa
Israel atau bangsa Yahudi, babi adalah binatang yang haram dan harus dihindari.
Ketika bangsa Israel menduduki tanah Kanaan di masa Perjanjian Lama, mereka pun
menjauhkan babi dari makanan dan diet mereka. Kalau kita perhatikan dosa bangsa
Israel di Perjanjian Lama lebih berkisar kepada praktik peribadatan kepada
dewa-dewa asing dari bangsa-bangsa lain. Sementara itu dalam hal makanan haram,
bangsa Israel nyaris tidak melakukan kesalahan dalam hukum Taurat.
Demikian pula dalam masa Perjanjian
Baru hingga saat ini, bangsa Yahudi sangat memegang teguh prinsip makanan yang
halal dan yang haram. Mereka memiliki standar kehalalan sendiri yang disebut
dengan “kosher”. Secara umum kosher mirip dengan halal dalam agama
Islam (seperti sama-sama tidak boleh memakan babi), meskipun ada beberapa
perbedaan. Sebagai contoh hukum Taurat mengatur bahwa bangsa Yahudi hanya boleh
memakan hewan yang hidup di air yang bersisik dan bersirip, sehingga udang dan
kepiting juga masuk dalam kategori tidak kosher.
Sampai dengan masa Perjanjian Baru, bangsa Yahudi sangat menjaga kekudusan
makanan mereka. Itulah sebabnya mereka sangat menjaga diri supaya tidak masuk
ke dalam rumah orang non Yahudi (Kis 10:28) karena ditakutkan orang non Yahudi
memasak atau memakan makanan yang tidak kosher
tadi.
Dalam perumpamaan yang kita baca hari
ini, Tuhan Yesus berkata bahwa ada seorang bapa yang mempunyai dua anak
laki-laki, yang sulung dan yang bungsu (ay. 11). Anak yang bungsu meminta
bagian harta miliknya yang menjadi hak anak bungsu tersebut (ay. 12a). Kemudian
sang ayah membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka (ay. 12b).
Sebenarnya permintaan anak bungsu ini sangatlah tidak umum pada masa itu karena hampir sama dengan
meminta warisan sebelum ayahnya meninggal. Tetapi ayah tersebut tetap
memberikan apa yang menjadi hak anak bungsu itu kepadanya. Menurut tradisi
orang Yahudi, anak sulung mendapatkan 2 bagian sementara anak lain
masing-masing mendapatkan 1 bagian. Sehingga bisa dikatakan bahwa sang ayah
membagi hartanya menjadi 3 bagian, 2 bagian menjadi milik si sulung dan 1
bagian menjadi milik si bungsu.
Apakah praktik ini tidak melanggar
hukum di Israel? Persoalannya adalah tradisi Israel memang menyatakan bahwa
warisan orang tua akan dibagi-bagikan kepada anak-anaknya, khususnya anak
laki-laki. Anak bungsu bisa saja meminta bagiannya saat itu tetapi berarti ia
sudah tidak memiliki hak lagi atas bagian orang tuanya. Semisal sang ayah mampu
mengembangkan usahanya, maka ia sudah tidak berhak lagi atas 2 bagian yang
menjadi milik ayahnya, karena semuanya akan menjadi milik si sulung. Jadi
dengan permintaan si bungsu untuk membagikan harta ayahnya selagi hidup, maka
mulai saat itu, anak bungsu berhak atas 1 bagian, sementara si sulung belum
mendapat bagian karena 2 bagian masih dikelola bersama antara ayah dengan
anaknya. Anak bungsu tidak berhak lagi atas 2 bagian yang akan menjadi milik si
sulung. Kita tidak tahu apakah yang dibagikan hanya tanah, ladang, dan ternak
ataukah juga sampai ke uang dan emas. Praktik ini mungkin jarang terjadi tetapi
mungkin saja terjadi dalam masyarakat Yahudi pada masa itu.
Tuhan Yesus kemudian meneruskan
perumpamaan tersebut dengan tindakan anak bungsu yang menjual seluruh bagiannya
tersebut (ay. 13a). Anak bungsu kemungkinan besar mendapatkan bagian harta
berupa tanah, ladang, dan juga hewan ternak. Tetapi semua bagian hartanya itu
dijual sehingga ia menerima sejumlah besar uang. Ada kemungkinan pula bahwa
ayahnya atau kakaknya yang membeli harta si bungsu supaya tanah tersebut tidak
jatuh ke tangan orang lain. Jika kemungkinan itu yang terjadi, maka si bungsu
sudah tidak mempunya tanah, ladang, dan ternak tetapi memiliki uang dalam
jumlah yang sangat banyak. Sementara itu milik sang ayah (yang juga nantinya
akan menjadi milik si sulung) semakin bertambah luas.
Singkat cerita anak bungsu pergi ke
negeri yang jauh (ay.13b). Ia mungkin ingin menikmati hidup di luar negerinya.
Namun demikian, ternyata di sana ia tidak dapat mengelola keuangannya dengan
baik. Bukannya membuka usaha di negeri tersebut supaya menghasilkan uang, si bungsu
justru hidup berfoya-foya sehingga uangnya semakin lama semakin berkurang (ay.
13c). Kehidupan berfoya-foya itu mungkin sekali adalah kehidupan
bersenang-senang dengan perempuan lain (pelacur) sebagaimana yang dikatakan
oleh si sulung (Luk 15:30).
Kemudian datanglah bencana kelaparan di
negeri itu. Usaha si bungsu bangkrut dan ia harus mulai menjual satu persatu
harta miliknya (ay. 14). Lambat laun ia hanya memiliki sedikit uang atau
mungkin sudah tidak memiliki uang sama sekali sehingga untuk makan pun ia tidak
sanggup membeli makanan. Anak bungsu kemudian mencari pekerjaan ke sana kemari
dan akhirnya ia bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang tersebut
menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya (ay. 15).
Mengingat si bungsu adalah orang Yahudi,
tentu adalah suatu kehinaan bagi dirinya untuk bekerja sebagai seorang penjaga
babi. Tentu majikannya
tersebut juga adalah orang non-Yahudi karena memiliki peternakan babi. Namun
apa boleh buat, ia sudah tidak memiliki uang lagi untuk sekedar membeli makanan.
Karena begitu laparnya, si bungsu ingin mengisi perutnya dengan ampas yang
menjadi makanan babi itu (ay. 16a). Perhatikan kata ampas di sini yang dalam
bahasa aslinya adalah κεράτιον (keration) yang dapat diartikan sebagai a husk (pod) of the carob (sekam/kulit
luar dari semacam kacang polong). Jadi itulah makanan babi yang sebenarnya
ingin ia makan. Ampas itu memang tidak ada gizinya, tetapi karena si bungsu
sudah sangat kelaparan, ia menanti-nanti ada orang lain yang mau memberikan
ampas kepadanya, tetapi tidak ada orang yang memberikannya (ay. 16b). Ia
mungkin berpikir, apa harus saya berlaku seperti babi dan berebut makanan ampas
tersebut bersama-sama dengan babi supaya ia boleh makan?
Pada saat si bungsu berpikir demikian, muncullah kembali kenangan ketika ia
masih bersama ayahnya, ketika harta milik ayahnya masih bisa ia nikmati
bersama, ketika ia tidak egois meminta haknya sebelum waktunya. Ia ingat akan
tanah dan ladang milik ayahnya yang luas, dengan segala macam hewan ternak yang
berjumlah banyak. Bahkan ayahnya sendiri terkenal sukses dan sudah memiliki
banyak orang upahan yang bekerja kepadanya (ay. 17). Ayahnya telah bekerja
keras demi anak-anaknya, tetapi karena keegoisan dirinya sendiri yang tidak
berpikir panjang, maka ia nyaris mati kelaparan di negeri orang.
Akhirnya si bungsu mengambil keputusan untuk kembali ke rumah ayahnya. Ia
sadar akan kesalahannya sehingga tidak berharap untuk kembali diakui sebagai
anak. Ia tentu membandingkan bagaimana ayahnya yang adalah seorang Yahudi masih
memperlakukan orang-orang upahannya dengan baik, sementara ia di sana
mendapatkan pekerjaan yang sangat memalukan, yaitu menjaga babi, bahkan ia
harus memakan makanan babi demi bertahan hidup. Ini adalah suatu penurunan
status yang luar biasa dari seorang anak bungsu pewaris kekayaan ayahnya
menjadi seorang penjaga babi yang bahkan makanannya sama dengan hewan yang
dijaganya. Ia hanya ingin kembali dan menjadi orang upahan ayahnya, tidak lebih
dari itu. Ia membandingkan bahwa lebih baik menjadi orang upahan di negerinya
sendiri, dengan budayanya sendiri, daripada ia harus menjadi orang upahan untuk
pekerjaan menjaga babi di negeri orang (ay. 18-19).
Meskipun perumpamaan ini dapat dilihat dari banyak sisi, tetapi karena kita
sedang membahas perumpamaan ini dari sisi penggunaan kata babi dalam Alkitab,
maka tentu kita dapat melihat kontrasnya kehidupan si bungsu ketika dekat
dengan bapanya dan ketika memutuskan untuk jauh dari bapanya. Keputusannya
untuk merantau ke negeri orang dengan pandangan kondisi di sana jauh lebih baik
ternyata menjadi bumerang bagi dirinya. Ia kini harus mengalami kelaparan
ketika ayahnya memiliki makanan yang berlimpah di rumahnya.
Salah satu kesalahannya adalah ketika ia memutuskan untuk jauh dari
ayahnya. Pada zaman dahulu belum ada telepon genggam atau internet seperti
sekarang sehingga ketika ia memutuskan pergi ke negeri yang jauh. Itu berarti
ketika si bungsu memutuskan untuk menjual miliknya dan pergi, ia sedang
memutuskan tali hubungan dengan ayahnya, kakaknya, dan seluruh keluarganya. Pada
waktu itu ia belum sadar bahwa salah satu kunci kebahagiaannya adalah dengan
berada di tempat yang tepat bersama-sama dengan orang yang tepat pula.
Orang-orang yang tepat ini adalah bapanya yang sangat mengasihinya, bahkan meskipun
si bungsu sudah meninggalkannya, ia masih setia menunggu kedatangan si bungsu.
J
adi di sini menjadi penjaga babi adalah suatu pekerjaan yang sangat hina,
khususnya dalam konteks budaya Yahudi pada waktu Tuhan Yesus hidup di bumi ini.
Tidak terbayangkan anak seseorang yang kaya dan terhormat bisa membiarkan
dirinya menjadi penjaga babi karena kesalahan dalam keputusannya. Ia baru bisa
menyesali keputusannya tersebut ketika sedang berada dalam titik terendah dalam
hidupnya: jauh dari siapa-siapa, tidak punya uang, kelaparan, dan lain
sebagainya. Pada saat itu kenikmatan apapun yang dulu ia pernah rasakan menjadi
tidak berarti lagi.
Mungkin kita pernah berada dalam posisi seperti si bungsu. Kita melakukan
kesalahan yang fatal sehingga posisi kita turun dari anak orang terhormat
hingga menjadi penjaga babi. Akan tetapi justru di situ kita harus sadar bahwa
Tuhan masih mengasihi kita. Tuhan membiarkan kita terpuruk supaya kita sadar
dan bertobat. Anak bungsu masih diberi kesempatan emas untuk bertobat ketika ia
menjadi seorang penjaga babi. Dalam posisi itu, ada 3 hal yang dapat ia lakukan:
1) menyamakan dirinya seperti babi dengan memakan ampas yang adalah makanan
babi; 2) berubah menjadi penjahat dengan merampok dan melakukan tindakan
kriminal lainnya; atau 3) mengingat bapanya dan memutuskan kembali padanya.
Jika saat ini ada di antara kita yang sedang dalam posisi “menjaga babi”,
pilihan mana yang kita pilih? Saya menyarankan supaya kita memilih pilihan 3 di
atas, yaitu mengingat kembali kasih Bapa dan kembali kepada-Nya. Tuhan
senantiasa menunggu kita, tetapi Tuhan tidak dapat memaksa kita untuk
meninggalkan “babi-babi” yang selama ini kita jaga. Keputusan apakah kita tetap
hidup bersama “babi” atau meninggalkan “babi” dan kembali kepada Bapa adalah
keputusan kita pribadi, sesuai dengan kehendak bebas yang Tuhan berikan pada
diri setiap manusia. “Babi” tidak akan pernah dapat berubah, hanya manusia,
yaitu kita yang bisa memutuskan apakah kita mau berbalik dan berubah ke arah yang lebih baik atau tidak.
Bacaan
Alkitab: Lukas 15:11-19
15:11 Yesus berkata lagi: "Ada seorang mempunyai dua anak laki-laki.
15:12 Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian
harta milik kita yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi-bagikan harta
kekayaan itu di antara mereka.
15:13 Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu
lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu
dengan hidup berfoya-foya.
15:14 Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam
negeri itu dan ia pun mulai melarat.
15:15 Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang
itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya.
15:16 Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi
itu, tetapi tidak seorang pun yang memberikannya kepadanya.
15:17 Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan
bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan.
15:18 Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa,
aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa,
15:19 aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai
salah seorang upahan bapa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.