Minggu, 17 Desember 2017
Bacaan
Alkitab: Filipi 3:2-3
Hati-hatilah terhadap anjing-anjing, hati-hatilah terhadap pekerja-pekerja
yang jahat, hati-hatilah terhadap penyunat-penyunat yang palsu. (Flp 3:2)
Anjing dan Babi dalam Alkitab (46): Hati-Hati terhadap
Anjing-anijng
Kita tentu pernah melihat adanya
rumah-rumah orang kaya dengan pagar-pagarnya yang tinggi, dengan ada rambu
peringatan yang tertulis “Awas anjing galak” atau “Hati-hati anjing galak”.
Rambu itu menjadi semacam peringatan bagi orang yang akan mendekat ke rumah itu
untuk berhati-hati karena ada anjing yang menjaga di rumah itu. Rambu itu juga
akan membuat orang yang berniat jahat berpikir ulang karena tahu ada anjing di
rumah tersebut.
Dalam Alkitab juga ada kalimat yang
mirip seperti ini, dimana Rasul Paulus menulis kepada jemaat di Filipi supaya
mereka berhati-hati terhadap anjing-anjing (ay. 2a). Kalimat ini tentu harus
menjadi perhatian bagi jemaat Filipi serta bagi kita yang hidup di zaman akhir
ini. Kata anjing-anjing di dalam bahasa aslinya adalah κύνας (kynas), suatu
bentuk jamak/plural dari kuón yang berarti anjing dewasa. Jadi sikap
berhati-hati kita bukan karena adanya anjing, tetapi karena ada anjing-anjing
yang memang suka menggigit dan menyerang.
Siapakah yang dimaksud dengan anjing-anjing dalam hal ini? Ayat 2 terdiri
dari 3 kalimat yang sejajar satu sama lain. Dalam hal ini anjing-anjing
disetarakan dengan pekerja-pekerja yang jahat dan penyunat-penyunat yang palsu
(ay. 2b). Pekerja di sini bukanlah pekerja dalam arti buruh secara umum (misal:
mereka yang bekerja di pabrik). Pekerja di sini lebih kepada pekerja di dalam
jemaat, yaitu mereka yang seakan-akan bekerja di ladang Tuhan atau di dalam
pelayanan. Jadi ternyata di dalam jemaat Tuhan atau di dalam persekutuan/gereja,
memang ada pekerja-pekerja yang baik, ada pula pekerja-pekerja yang jahat. DI
tengah-tengah biasanya ada pula pekerja-pekerja yang cenderung netral dan
tulus. Namun seiring mendekatnya kita ke akhir zaman, biasanya di dalam gereja
pun sudah terlihat jelas pemisahan antara yang baik dan yang jahat, dan orang
mau tidak mau harus berani mengambil sikap apakah memilih sisi yang baik atau
sisi yang jahat.
Peringatan supaya kita berhati-hati terhadap pekerja-pekerja yang jahat harus
membuat orang Kristen berhati-hati bahwa tidak semua orang yang ada di gereja
adalah orang baik. Bahkan jika kita mau jujur, kita harus berani berkata bahwa
tidak semua orang yang mengambil bagian dalam pelayanan di gereja adalah orang
baik. Bahkan tidak semua pendeta ataupun mereka yang bergelar sarjana teologi
adalah orang baik. Rasul Paulus sendiri yang mengatakan bahwa ada pekerja-pekerja
yang jahat.
Tentu kita harus membedah apa arti “jahat” dalam ayat ini, sehingga
pekerja-pekerja semacam itu patut disamakan dengan anjing-anjing. Kata jahat
dalam bahasa aslinya adalah κακός (kakos) yang tidak hanya terlihat jahat
dari luar (dari perbuatan maupun perkataan), tetapi juga lebih kepada kejahatan
yang ada di dalam batin atau hati manusia. Jadi pekerja-pekerja jahat ini bukan
berarti orang-orang di gereja yang masih mencuri, korupsi, berzinah, kumpul
kebo, dan lain sebagainya. Ini bisa berarti orang-orang yang dari luar terlihat
baik, pelayanannya hebat, tetapi hatinya ternyata busuk.
Ini yang lebih susah diwaspadai bagi orang Kristen yang benar. Kita tidak
akan tahu kebusukan hati seseorang sebelum kita mengenal orang tersebut lebih
dalam. Selain itu kita juga harus senantiasa hidup dalam kebenaran Firman Tuhan
setiap hari. Barulah kita akan memiliki kepekaan untuk dapat membedakan roh. Menguji
roh ini tidak sama dengan menghakimi. Jika setiap hari kita bergaul erat dengan
Tuhan dalam persekutuan pribadi kita, maka kita akan dapat membedakan manakah
pelayanan yang walaupun dari luar terlihat spektakuler, tetapi ternyata
memiliki spirit yang berbeda dengan spirit Tuhan. Kita akan dapat membedakan roh
yang dari Tuhan dan yang bukan, serta kebenaran yang murni dan yang tidak murni.
Anjing-anjing juga disejajarkan dengan penyunat-penyunat yang palsu. Kata
penyunat-penyunat yang palsu menekankan bahwa ada orang-orang tertentu yang
bertindak sebagai subjek untuk melakukan proses sunat. Dikesankan bahwa kita
harus mewaspadai orang-orang tersebut. Nyatanya, kata penyunat-penyunat yang
palsu dalam bahasa aslinya adalah κατατομή
(katatomé) yang bisa juga
diterjemahkan sebagai proses sunat yang salah. Bahkan ada terjemahan yang mengartikan
kata katatomé tersebut sebagai mutilation, spoiling, concision (mutilasi, perusakan/penghilangan
nilai/kualitas suatu benda, pemotongan/amputasi). Kata katatomé tersebut juga bersifat tunggal (singular) sehingga
lebih dilihat sebagai suatu proses yang salah, bukan sebagai pelaku-pelaku
penyunatan.
Jadi penyunat-penyunat (atau sunat) yang palsu di sini dapat dilihat
sebagai suatu proses yang terlihat berguna padahal hasil akhirnya justru
merusak tubuh seseorang. Ibarat suatu tanaman yang sedang ditanam, ada
pemangkasan daun-daun dan cabang-cabang. Proses pemangkasan itu pada dasarnya adalah
suatu proses yang baik supaya tanaman indah dipandang. Tetapi di tangan orang
yang salah, proses pemangkasan itu justru bisa merusak tanaman tersebut ketika
pemangkasan tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Pemangkasan yang seharusnya
bertujuan membuang ranting-ranting kering atau supaya bentuknya indah, bisa
menjadi suatu proses “amputasi” yang menyakitkan, yang sama sekali tidak
berguna tetapi justru merusak apa yang sudah ada.
Jadi proses penyunatan yang palsu/salah inilah yang harus diwaspadai oleh
setiap orang Kristen. Penyunatan berbicara sebenarnya tentang penderitaan dan rasa
sakit. Jadi memang ada hal-hal yang membuat orang seakan-akan menderita bagi
Tuhan, padahal sebenarnya hal tersebut tidak berguna atau bermanfaat sama
sekali untuk kualitas hidup rohani kita. Ada orang-orang yang berlelah-lelah,
pergi ke sana kemari, mengeluarkan uang, dan lain sebagainya tetapi sebenarnya
mereka tidak melakukannya untuk Tuhan. Lalu mereka melakukan untuk siapa? Bukankah
mereka berlelah-lelah dan bekerja keras demi pelayanan di gereja atau persekutuan?
Dalam hal ini orang Kristen harus cerdas. Ada berbagai bentuk pelayanan
secara teknis di gereja maupun di persekutuan, tetapi belum tentu itu adalah
pelayanan yang berkenan di hadapan Tuhan. Saat ini pengertian pelayanan menjadi
begitu rendah karena hanya dipandang sebagai “ikut ambil bagian dalam
liturgi/ibadah di gereja/persekutuan”. Sehingga seakan-akan ada pelayanan yang diada-adakan
untuk mengakomodir jemaat supaya melayani. Padahal jemaat itu sendiri belum
mengerti tentang motivasi pelayanan yang benar bahkan pengertian mereka
terhadap pelayanan saja juga belum benar.
Mereka yang menjadi pelayan-pelayan “karbitan” pada akhirnya merasa sudah
melayani ketika mereka terlibat dalam ibadah, misalnya sebagai penerima tamu,
petugas kolekte, pemain musik, bahkan pemimpin pujian. Di sisi lain mereka
dapat memandang rendah orang-orang yang tidak terlibat dalam pelayanan,
misalnya bapak-ibu yang sudah tua, yang memang untuk berdiri saja sudah sulit. Akibatnya
terbangun suatu kasta yang mengesankan bahwa mereka yang sudah menjadi pelayan
di gereja adalah lebih tinggi daripada mereka yang tidak menjadi pelayan.
Apalagi jika gereja atau pendeta mengesankan bahwa para pelayan di gereja
tersebut sudah berjerih lelah mengambil bagian dalam pelayanan, sehingga sudah
pantas dikatakan sebagai pelayan Tuhan.
Padahal, pelayanan tidak hanya sekedar mengambil bagian dalam liturgi atau
ibadah di gereja. Pelayanan yang benar adalah melayani perasaan dan hati Tuhan.
Kita belum dapat dikatakan melayani Tuhan jika tidak pernah mempersoalkan
apakah hidup kita sudah sepenuhnya sesuai dengan perasaan Tuhan. Pelayanan
Tuhan bukan hanya mengambil bagian di dalam ibadah di gereja, tetapi seluruh
hidup kita yaitu keseharian kita di kantor, di sekolah, di rumah, adalah
pelayanan. Seorang ibu rumah tangga sedang melayani Tuhan ketika ia menyiapkan
makanan bagi seisi rumahnya dan mendidik anak-anaknya dalam kebenaran. Seorang tukang
sapu jalan sedang melayani Tuhan ketika ia bekerja dengan rajin supaya jalanan
menjadi bersih, dan lain sebagainya. Pelayanan tidak boleh dibatasi hanya di
dalam tembok gereja atau dalam kegiatan-kegiatan yang bernuansa kristiani.
Pelayanan adalah segenap hidup kita yang kita gunakan untuk melayani perasaan
Tuhan dimanapun kita berada, sesuai dengan talenta dan profesi kita saat ini.
Oleh karena itu, sikap berhati-hati terhadap proses sunat yang palsu adalah
sikap yang harus dimiliki semua orang Kristen. Kita tidak boleh berpikir bahwa
ketika kita sudah berlelah-lelah melayani Tuhan di gereja, latihan musik,
menjadi panitia Natal, memberikan persembahan ke gereja, dan lain sebagainya,
itu sudah merupakan sikap menderita bagi Tuhan. Belum tentu demikian. Bisa jadi
kita seakan-akan menderita tetapi sebenarnya kita sedang memanfaatkan Tuhan
demi kepentingan diri sendiri (misalnya supaya kita dipandang orang sebagai
orang baik), atau juga demi kepentingan orang lain (misalnya kita dimanfaatkan
oleh oknum-oknum tertentu seakan-akan untuk kepentingan Tuhan padahal untuk
kepentingan orang tersebut).
Di sini kita harus berhati-hati karena kita seharusnya adalah orang-orang
yang bersunat (ay. 3a). Kata bersunat di ayat 3 ini adalah (περιτομή (peritomé) yang artinya
adalah sunat, seperti yang dilakukan orang Yahudi. Jadi orang Kristen harus
dapat membedakan manakah peritomé (sunat yang benar) dan manakah katatomé (sunat yang salah). Kita harus menjadi orang-orang
yang beribadah oleh Roh Allah (atau dalam terjemahan lain: beribadah kepada
Allah di dalam roh) (ay. 3b). Hal ini berarti bahwa ada orang-orang yang
seakan-akan beribadah kepada Allah tetapi tidak di dalam roh (hanya sebatas melakukan
ibadah secara lahiriah saja), dan ada orang-orang yang beribadah kepada Allah
dengan benar, yaitu dengan sikap hati yang benar juga di hadapan-Nya.
Ciri-ciri orang yang masih belum benar adalah mereka masih suka memegahkan
diri dengan hal-hal lahiriah. Hal-hal lahiriah ini dapat terlihat dari apa yang
menjadi prirotas hidup orang tersebut. Ada orang-orang yang sangat bangga jika
ia memiliki gelar yang banyak, sehingga ia akan mencari gelar S1, S2, bahkan
S3. Tidak cukup sampai di situ, ia juga mencari gelar teologi mulai S.Th.,
M.Th., bahkan Doktor Teologi. Ada orang-orang yang kebanggaannya adalah uang, sehingga
fokus hidupnya hanyalah uang, uang, dan uang. Ada pula orang-orang yang
kebanggaannya adalah hobi seperti memiliki mobil terbaru, modifikasi mobil, dan
lain sebagainya. Orang seperti ini bisa sering berganti-ganti mobil karena
selalu ingin mobil baru. Ada pula orang-orang yang kebanggaannya adalah wajah
yang cantik/tampan, barang-barang bermerek (branded),
jalan-jalan ke luar negeri, dan lain sebagainya.
Namun demikian, Rasul Paulus menegaskan bahwa jika kita ingin bermegah,
maka kita harus bermegah di dalam Kristus. Artinya, satu-satunya kebanggaan
kita adalah ketika kita sudah memiliki hidup yang sama atau serupa dengan Kristus
(ay. 3c). Orang seperti ini tidak akan lagi mempermasalahkan hal-hal lahiriah
yang tidak penting (ay. 3d). Tentu saja orang seperti ini bisa saja memiliki
rumah bagus, mobil baru, pekerjaan mapan, gelar yang tinggi, bahkan uang yang
banyak. Akan tetapi nilai diri orang tersebut tidak tergantung pada semua
hal-hal lahiriah tersebut. Prioritas dalam hidupnya adalah bagaimana menemukan
kehendak Tuhan dan melakukannya dalam kesempatan hidup di dunia ini.
Orang-orang seperti ini hanya mempersoalkan 1 hal, apakah hidupnya sudah pantas
dan berkenan di hadapan Tuhan atau belum. Rumah, mobil, uang, dan lain
sebagainya tidak lagi menjadi tujuan hidupnya di dunia ini.
Jadi anjing-anjing di sini merujuk pada spirit atau gairah zaman yang
berfokus pada hal-hal yang lahiriah atau yang terlihat dari luar. Ini bukan
hanya sikap konsumerisme dan materialistis yang dianut kebanyakan orang di
dunia ini, tetapi juga adalah sikap kemunafikan di dalam gereja, termasuk
ajaran-ajaran sesat. Bahayanya spirit ini sudah masuk ke dalam gereja dan
seakan-akan mendapat posisi yang kuat di dalamnya. Tidak heran bahwa spirit ini
seakan-akan dilegitimasi oleh sejumlah gereja dan pendeta sebagai sikap yang
wajar, karena dunia memang bergerak ke arah yang demikian.
Di sini orang-orang yang hidup benar akan diuji. Mereka harus berhadapan
dengan anjing-anjing, yaitu orang-orang yang masih sibuk dengan hal-hal
lahiriah, bahkan dalam kemunafikan dan juga penyesatan, tetapi justru menuduh
orang yang benar tersebut sebagai pihak yang salah. Mereka ibarat anjing-anjing
yang menggonggong dan menyalak kepada kelompok orang benar. Karena jumlah
mereka banyak, maka seakan-akan mereka adalah kelompok yang benar. Padahal
mereka sebenarnya sedang terganggu oleh kehidupan orang-orang yang kudus dan
benar. Tidak heran pada suatu titik mereka dapat menyerang dan menggigit
orang-orang benar tersebut.
Kita mungkin masih maklum jika serangan tersebut dilakukan oleh orang-orang
di luar gereja. Tetapi jika orang-orang di dalam gereja memusuhi bahkan
menyerang kita karena hidup kita yang benar mengganggu kehidupan mereka, maka
di situlah kita sedang diuji oleh Tuhan. Apakah kita tetap bisa memiliki hati
dan motivasi yang benar atau tidak. Di situ kita harus mewaspadai anjing-anjing
tersebut supaya kita tidak membuka celah sedikitpun, yang dapat membuat mereka
menyerang kita dan menjatuhkan kita.
Bacaan
Alkitab: Filipi 3:2-3
3:2 Hati-hatilah terhadap anjing-anjing, hati-hatilah terhadap
pekerja-pekerja yang jahat, hati-hatilah terhadap penyunat-penyunat yang palsu,
3:3 karena kitalah orang-orang bersunat, yang beribadah oleh Roh Allah, dan
bermegah dalam Kristus Yesus dan tidak menaruh percaya pada hal-hal lahiriah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.