Sabtu, 18 Februari 2017
Bacaan
Alkitab: Matius 23:4
Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang,
tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. (Mat 23:4)
Ciri Ahli Taurat dan Orang Farisi (3): Membebani Orang
Lain Tanpa Mau Menyentuhnya
Ciri ketiga dari para ahli Taurat dan
orang Farisi dapat kita temukan di ayat renungan kita hari ini. Tuhan Yesus
berkata bahwa mereka mengikat beban-beban yang berat (ay. 4a). Dalam Alkitab
Terjemahan Baru (TB) terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) hanya digunakan
kata “berat”, meskipun dalam bahasa aslinya menggunakan 2 kata yaitu barea (βαρέα) yang berasal dari kata dasar barus (βαρύς) yang dapat
diartikan sebagai “berat/menekan”, dan kata dysbastakta
(δυσβάστακτα) yang berasal dari kata dusbastaktos (δυσβάστακτος) yang dapat diartikan sebagai “sulit dibawa/sulit
ditanggung. Alkitab Terjemahan Lama (TL) terbitan LAI menggunakan terjemahan
yang lebih pas yaitu “berat dan sukar dipikul”.
Beban yang berat dan sukar dipikul
tersebut adalah tuntutan Hukum Taurat yang sangat rinci dan kaku, yang
diajarkan oleh para ahli Taurat dan orang Farisi kepada bangsa Yahudi. Mereka
mengajarkan Hukum Taurat dengan sangat rinci, sampai hal terkecil sekalipun.
Hal ini mengakibatkan bangsa Yahudi terbiasa hidup dalam syariat agama Yahudi
yang ketat, mulai dari cara berpakaian, cara makan (termasuk apa yang boleh
dimakan dan yang tidak), hingga cara berdoa dan beribadah, apalagi terkait
dengan hari Sabat. Sebenarnya Hukum Taurat diberikan Allah kepada bangsa Yahudi
supaya mereka boleh mengenal Allah yang benar. Namun seiring berjalannya waktu,
Hukum Taurat pun “dieksploitasi” sedemikian rupa sehingga menjadi suatu ikatan
yang harus dilakukan oleh setiap bangsa Yahudi, dengan para ahli Taurat dan
orang Farisi sebagai “pengawasnya”.
Kata mengikat dalam bahasa aslinya
adalah desmeuó (δεσμεύω) yang juga dapat diartikan sebagai merantai. Ini artinya
para ahli Taurat dan orang Farisi membuat umat Yahudi semakin terikat dan
terkekang dengan berbagai macam hukum yang pada akhirnya menjadi syariat yang wajib
dipenuhi, dan jika tidak melakukan maka akan dikatakan sebagai orang kafir. Akibatnya
umat Yahudi memilih untuk melakukan hukum Taurat sebagai “syarat” untuk tidak
dipandang kafir. Praktik ibadah keagamaan Yahudi pun turun drastis, dari yang seharusnya
ibadah untuk menghadap Tuhan, kini ibadah hanya dilakukan supaya dipandang baik
oleh orang lain (yaitu pengawas Yahudi yang adalah para ahli Taurat dan orang
Farisi).
Beban tersebut diletakkan oleh para
ahli Taurat dan orang Farisi di atas bahu orang (ay. 4b), yaitu di atas bahu
umat Yahudi. Mereka berpikir bahwa ibadah dan menjalankan Hukum Taurat adalah
beban yang harus ditanggung. Memang melakukan Firman Tuhan harus menjadi
tanggung jawab kita, bahkan dalam kebanyakan kasus adalah juga “beban” kita.
Namun demikian, yang menjadi permasalahan adalah ketika orang-orang yang
meletakkan beban tersebut tidak mau menyentuhnya (ay. 4c). Kata “tidak mau menyentuhnya”
dalam ayat 4 tersebut dalam Alkitab TL terjemahan LAI disebutkan sebagai “tidak
mau memindahkan/menggerakkan dengan jari mereka”. Artinya adalah bahwa begitu
umat menanggung beban, maka para ahli Taurat dan orang Farisi tidak mau
mengurusinya lagi. Itu adalah bagian beban yang menjadi tanggung jawab umat,
bukan pemimpin agama. Bahkan mereka tidak mau “menggunakan jarinya” untuk
membantu umat memindahkan beban berat tersebut.
Ini adalah sikap pemimpin agama yang
tidak bertanggung jawab. Seharusnya sebagai pemimpin agama, para ahli Taurat
dan orang Farisi memang harus mengajarkan apa yang benar. Tetapi ketika umat kesulitan
menanggung bebannya, maka para pemimpin agama harus menolongnya supaya umat
mampu menanggung beban mereka. Bahkan yang lebih baik lagi adalah ketika
pemimpin agama membantu umat untuk tidak memikul lebih dari apa yang harus
mereka pikul, yaitu dengan cara tidak meletakkan beban yang tidak pada
porsinya, dan membantu memindahkan beban yang “terlanjur” dipikul oleh umat.
Dalam konteks masa kini, ini adalah gambaran
para pemimpin agama atau pemuka agama yang mengajarkan beban-beban keagamaan
kepada umatnya. Umat dituntut untuk melakukan hukum atau syariat secara ketat. Tetapi
di sisi lain, para pemuka agama ini hanya meletakkannya di bahu umatnya tetapi
dirinya sendiri tidak mau melakukannya. Ia hanya senang melihat orang lain
berjuang untuk melakukan hukum dan syariat, tetapi dirinya sendiri tidak mau
berjuang untuk itu. Ia senang melihat orang lain kesulitan menjalankan
hukum-hukum agama tetapi ia sendiri tidak mau ikut sulit. Ketika ditanya, maka para
pemuka agama ini hanya berkata “kami kan pemimpin kalian, jadi wajar dong jika
kami berbeda dengan kalian”.
Betapa berbahayanya pemimpin agama
seperti ini, yang hanya suka menyuruh umat melakukan Firman Tuhan tetapi
dirinya sendiri tidak melakukan. Mereka membuat umat menjadi terantai dan
terpenjara dalam hukum-hukum agama yang sangat mungkin “mengaburkan” tujuan
ibadah sesungguhnya yaitu berhubungan dengan Tuhan, mengerti kehendak Tuhan,
dan menyenangkan hati Tuhan. Umat akan terjebak dalam rutinitas agamawi tanpa
pernah mengenal Tuhan secara lengkap. Di sisi lain, para pemimpin agama hanya
tertawa bahagia dan bersenang-senang di atas beban umatnya, tanpa mau ikut
ambil bagian untuk membantu umat mengenal Tuhan. Tidak jarang, pemimpin agama
mengkultuskan dirinya sedemikian rupa sehingga hanya dialah orang yang dapat
berhubungan dengan Tuhan, dan mengaku bahwa Tuhan hanya berfirman dan memberi
wahyu melalui dirinya, sehingga umat harus tunduk sepenuhnya kepada
kepemimpinan mereka.
23:4 Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu
orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.