Kamis, 02 Februari 2017

Status Manusia sebagai Anak Allah dalam Perjanjian Baru (Bagian 14)



Jumat, 3 Februari 2017
Bacaan Alkitab: Ibrani 12:5-8
Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? (Ibr 12:7)


Status Manusia sebagai Anak Allah dalam Perjanjian Baru (Bagian 14)


Salah satu konsekuensi kita sebagai anak-anak Allah adalah bahwa kita harus mau tunduk sepenuhnya kepada Allah sebagai Bapa kita. Di dunia ini, kita hidup dalam budaya timur yang menekankan pentingnya penundukan dan penghormatan anak-anak kepada kedua orang tuanya. Memang saat ini di negara kita budaya timur mulai bergeser dengan adanya globalisasi sehingga tidak banyak lagi anak-anak yang menghormati orang tuanya, khususnya di kota-kota besar. Generasi yang lahir setelah tahun 2000 pada umumnya mulai kehilangan rasa hormat tersebut dibandingkan dengan generasi yang lahir di tahun 1970 atau 1980-an.

Oleh karena itu, ketika kita membaca bagian bacaan ayat Kitab Suci kita pada hari ini, akan banyak para pembaca yang lahir di tahun 2000-an akan merasa bahwa ayat tersebut sudah ketinggalan zaman. Ayat-ayat tersebut memang berbicara bahwa bagaimana Tuhan mendidik anak-anak-Nya dengan keras, bahkan sampai dikatakan agar kita tidak boleh menganggap enteng didikan-Nya dan bahkan tidak boleh putus asa ketika kita diperingatkan-Nya (ay. 5). Dahulu saya mengalami bahwa ketika orang tua kita memarahi kita, maka saya merasa sangat menyesal bahkan sampai menangis. Rasa-rasanya hampir seperti orang yang putus asa ketika kita melakukan kesalahan yang membuat orang tua kita sampai marah. Namun sekarang, banyak anak-anak (terutama yang lahir setelah tahun 2000-an) yang tidak peduli lagi didikan dan peringatan orang tuanya. Ketika orang tua menasehati, anak-anak justru marah. Ketika orang tua marah, anak-anak tidak mau mendengarkan lagi. Dalam hal ini justru orang tua bisa menjadi putus asa ketika menasehati anak-anaknya.

Alkitab juga menulis bahwa orang tua harus memperlakukan anak dengan tegas namun penuh kasih. Jika anak salah, harus ada hajaran dari orang tua supaya si anak bertobat (ay. 7b). Namun ayat ini seperti sudah ketinggalan zaman di hari-hari akhir zaman ini. Isu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) membuat orang tua yang menghajar anak dipandang sebagai orang tua yang tidak bermoral. Saya sendiri setuju bahwa kekerasan dalam rumah tangga harus dihindari. Tetapi jika anak sudah jauh salah melangkah, maka orang tua perlu menghajarnya dengan tujuan yang baik, yaitu supaya ia bertobat dan tidak binasa. Justru sebaliknya, jika orang tua membiarkan anak melakukan dosa yang fatal tanpa adanya hajaran yang setimpal, orang tua hanya sedang membiarkan anaknya meluncur kepada dosa yang lebih fatal lagi, sampai akhirnya si anak tidak dapat diperbaiki lagi.

Demikian pula halnya dengan Tuhan. Jika kita mengaku diri kita sebagai anak, maka kita harus siap untuk menerima hajaran Tuhan. Kita harus mengerti bahwa Tuhan jauh lebih bijaksana daripada orang tua manapun di dunia ini. Oleh karena itu, kita harus dengan rendah hati siap dihajar dan disesah oleh Tuhan, karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya dan menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak (ay. 6). Menjadi anak-anak Allah tidak hanya berbicara tentang berkat dan hak-hak yang diterima, tetapi juga berbicara tentang kewajiban yang harus kita lakukan sebagai anak-anak Allah. Jika kita melanggar perintah Allah, maka siap-siaplah kita untuk dihajar oleh-Nya. Bahkan jika boleh saya menulis satu kalimat ini untuk kita renungkan: “Sebagai anak-anak Allah, kita harus meminta Allah menghajar kita jika kita salah”. Kalimat tersebut harus sering kita ucapkan pada doa kita kepada-Nya, karena hanya dengan cara demikianlah Allah memperlakukan kita sebagai anak-anak-Nya yang sah (ay. 7a).

Justru jika kita melakukan kesalahan namun kita tidak dihajar, atau ketika Tuhan membiarkan kita melakukan dosa tanpa adanya pendisiplinan terhadap diri kita, maka sesungguhnya kita harus mau mengintropeksi diri kita, jangan-jangan kita belum menjadi anak-anak Allah yang sah, melainkan baru “mengaku” sebagai anak padahal kita masih anak-anak gampang (ay. 8). Ada 2 kata anak dalam ayat 8 tersebut, yaitu anak (dalam hal ini anak yang sah) dan anak-anak gampang. Kata anak (yang sah) dalam bahasa aslinya (bahasa Yunani) adalah huios (υἱός) sedangkan kata anak-anak gampang adalah nothos (νόθος).

Kata huios secara literal dapat diartikan sebagai anak, yaitu mereka yang dilahirkan atau telah diangkat sebagai anak. Tentu anak seperti huios ini adalah anak-anak yang sudah memenuhi syarat untuk diakui secara sah sehingga mereka memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Mereka punya akta lahir, mereka memiliki riwayat yang jelas, kalaupun diangkat mereka juga sudah memenuhi syarat-syarat administratif lainnya, sehingga di mata hukum mereka sudah sah sebagai anak. Perlu kita pahami bahwa pada masa Tuhan Yesus hidup dan gereja mula-mula, bangsa Yahudi sedang dijajah oleh bangsa Romawi, dan kewarganegaraan Romawi sangatlah penting pada masa itu, sehingga muncullah istilah huios ini.

Sebaliknya, kata nothos secara literal dapat diartikan sebagai anak-anak yang tidak sah, atau anak-anak yang lahir dari orang tua yang tidak sah. Perlu disampaikan bahwa konteks penggunaan kata nothos ini bermula jauh pada zaman kerajaan Yunani, dimana pada masa itu bangsa Sparta suka sekali berperang dan meninggalkan istri mereka di rumah. Pada saat itu, istri-istri bangsa Sparta yang kesepian pun akhirnya berhubugan dengan budaknya di rumah, dan melahirkan anak-anak. Ketika bangsa Sparta pulang dari peperangan (bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun), mereka menemukan bahwa di rumah sudah ada anak-anak yang tidak sah (nothos) tersebut, sehingga nothos tersebut pun diusir.

Alkitab Perjanjian Baru sendiri hanya menggunakan kata nothos sebanyak 1 kali yaitu dalam ayat 8 ini, sedangkan kata huios disebutkan sebanyak 300-an kali dalam Perjanjian Baru. Oleh karena itu, betapa pentingnya kita untuk sungguh-sungguh berkeadaan sebagai huios. Jika huios adalah anak-anak yang sah, yang memiliki hak dan kewajiban yang diakui oleh negara, sebaliknya nothos adalah anak-anak yang tidak sah, yang memang merupakan seorang anak (manusia), tetapi ia tidak memiliki hak dan kewajiban yang diakui oleh negara. Huios memiliki legitimasi penuh sebagai anak-anak Allah, sedangkan nothos tidak.

Sudahkah kita memeriksa diri kita apakah kita sudah menjadi huios atau masih menjadi nothos? Anak-anak yang sah adalah mereka yang lahir dari sumber yang benar (yaitu lahir dari atas/lahir dari Allah/lahir baru), barulah mereka layak disebut sebagai huios. Seorang huios memang memiliki hak-hak yang berhak diterimanya sebagai anak-anak yang sah, tetapi juga harus siap menanggung konsekuensi dididik dan dihajar oleh Bapa. Seorang huios dihajar supaya ia memiliki karakter Bapa, sementara nothos mungkin tidak pernah menerima hajaran (karena ia tidak memiliki Bapa yang sah), tetapi pada akhirnya ia akan merasakan kehampaan karena tidak masuk ke dalam Kerajaan Surga. Oleh karena itu, berjuanglah sungguh-sungguh untuk menjadi huios yaitu anak-anak Allah yang sah, dan nikmatilah proses didikan dan hajaran dari Allah yang adalah Bapa kita. Jika kita tidak mau dihajar Tuhan, berarti kita belum menjadi huios, dan mungkin kita masih menikmati kenyamanan sebagai nothos.


Bacaan Alkitab: Ibrani 12:5-8
12:5 Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya;
12:6 karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak."
12:7 Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya?
12:8 Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.