Minggu, 12 Februari 2017
Bacaan
Alkitab: Yakobus 3:13-15
Jika kamu menaruh perasaan iri hati dan kamu mementingkan diri sendiri,
janganlah kamu memegahkan diri dan janganlah berdusta melawan kebenaran! (Yak
3:14)
Jangan Berdusta Melawan Kebenaran!
Di masa-masa sekarang ini, kita
dihadapkan pada kondisi dimana sebagian pihak saling melaporkan akibat
perkataan yang diucapkan oleh pihak lainnya. Mereka berdalih bahwa ucapan yang
dilontarkan oleh pihak lain tersebut adalah perkataan yang menista paham yang
dianut, atau melawan kebenaran. Kondisi akhir-akhir ini membuat banyak orang
menjadi bingung karena semua pihak sama-sama mengklaim bahwa mereka sedang
berada di pihak yang benar. Tidak jarang karena pembelaan mereka terhadap paham
yang mereka anggap benar, maka terjadilah aksi, demonstrasi bahkan pengrusakan
yang dilakukan dengan dalih “membela kebenaran”.
Alkitab sendiri menulis bahwa jika
seseorang adalah bijak dan berbudi, maka ia harus hidup dengan cara yang baik
pula. Kualitas kebijakan dan budi seseorang akan terlihat dari perbuatannya
yang penuh hikmat, yaitu perbuatannya yang lahir dari kelemahlembutan (ay. 13).
Tentu di sini kelemahlembutan tidak berarti lemah dan tidak berdaya. Akan
tetapi, kelemahlembutan di sini merujuk pada sikap Tuhan Yesus yang tetap membela kebenaran, walau pada akhirnya Ia
dihina, disiksa, bahkan disalib. Pada saat menderita pun, Tuhan Yesus telah
memberikan teladan untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Dalam
penderitaan-Nya yang luar biasa, tidak ada satu kata pun yang salah yang
terucap dari mulut Tuhan Yesus. Bahkan, dalam penderitaan-Nya dan saat-saat
terakhir menghadapi kematian, Tuhan Yesus berkata “Ya Bapa, ampunilah mereka,
sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Luk 23:34). Sikap yang sama
juga dimiliki oleh pengikut-pengikut-Nya, seperti Stefanus yang walaupun sedang
dilempari batu karena mempertahankan imannya, ia juga berkata hal yang sama
yaitu “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” (Kis 7:60).
Jelaslah bahwa sikap kelemahlembutan itu harus ada dalam diri setiap orang yang
mengaku sebagai orang Kristen, yaitu pengikut Kristus.
Namun di masa gereja mula-mula, masalah
pun sudah mulai timbul. Ada orang-orang dalam jemaat yang memiliki perasaan iri
hati dan mementingkan diri sendiri (ay. 14a). Mulai ada gesekan dan
perselisihan dalam jemaat. Dan kalau kita membaca ayat-ayat selanjutnya, kita
mengerti bahwa ada orang-orang yang egois dan memanfaatkan iman mereka (agama
Kristen) untuk kepentingan mereka sendiri. Terkait dengan hal tersebut, Yakobus
mengingatkan agar orang percaya tidak memegahkan diri sendiri, dan dalam segala
hal, jangan berdusta melawan kebenaran (ay. 14b).
Apakah hubungannya antara iri hati dan
mementingkan diri sendiri dengan berdusta melawan kebenaran? Tentu kita tahu
bahwa ketika seseorang merasa dirinya paling hebat, paling penting, dan
paling terhormat, maka orang tersebut
akan menggunakan segala macam cara supaya ia tetap terhormat. Bahkan ia akan
mempengaruhi orang lain (jemaat lain) untuk boleh menghormatinya dan membuat
posisinya sebagai yang terpenting. Jika orang ini adalah pemimpin jemaat, ia
akan menjaga “tahta”nya supaya tidak diusik oleh orang lain. Jika perlu, ia
akan membangun suatu dinasti atau rezim yang diisi oleh orang-orang
terdekatnya, antara lain keluarganya. Memang tidak salah jika anak seorang
pemimpin rohani melanjutkan pelayanan ayahnya karena memang anak tersebut
dipandang mampu dan memiliki kualifikasi serta kompetensi untuk meneruskan
kepemimpinan ayahnya. Tetapi akan menjadi salah besar dan sesat jika seorang
pemimpin menyerahkan pelayanan kepada anaknya hanya karena supaya uang
persembahan jemaat tetap dapat masuk ke keluarganya.
Jika pemimpin rohani memiliki perasaan
iri hati dan mementingkan kepentingannya sendiri, maka hampir dapat dipastikan
bahwa isi khotbah yang disampaikan juga akan berpusat pada bagaimana ia boleh
semakin dipandang terhormat di mata jemaat, misalnya melalui
kesaksian-kesaksian dirinya yang luar biasa, melalui pengalaman-pengalaman
hidupnya yang sudah pergi ke luar negeri, dan lain sebagainya. Ia juga akan membuat
kepentingan dirinya seolah-olah adalah kepentingan Tuhan. Misal ketika ia
membangun gereja, maka ia akan mengatakan bahwa ia sedang membangun gereja
untuk kepentingan Tuhan, padahal jika gereja tersebut sudah dibangun, hanya
namanya yang diagung-agungkan. Bahkan juga bisa terjadi, pemimpin rohani
tersebut akan merasa sebagai satu-satunya wakil Tuhan di gereja tersebut,
sehingga semua orang yang mau dijawab doanya, harus didoakan oleh si pemimpin
rohani, atau bahwa Tuhan hanya memberikan wahyu kepada si pemimpin jemaat,
sehingga jemaat harus tunduk sepenuhnya kepadanya. Perkataan si pemimpin
dianggap sebagai perkataan Tuhan dan jemaat tidak boleh meragukannya
sedikitpun. Jika perkataan si pemimpin berbeda dengan isi kitab suci, maka
pemimpin rohani tersebut akan membela perkataannya dengan memutarbalikkan isi
Firman Tuhan dengan mengutip ayat-ayat yang mungkin tidak sesuai konteksnya.
Jika hal ini terjadi, pemimpin rohani tersebut tentu tidak akan mau “disaingi”
oleh orang lain. Ia akan marah besar jika ada jemaat yang menjadi cerdas dan
kemudian mengkritisi kepemimpinannya. Tidak jarang, khotbah yang disampaikan
pun mulai menurun standarnya supaya tidak ada jemaat yang menjadi lebih cerdas
dari dirinya.
Jika itu yang terjadi, maka itu
bukanlah berasal dari Tuhan. Itu bukanlah hikmat yang datang dari atas, tetapi
dari dunia, dari nafsu manusia (yaitu iri hati dan mementingkan diri sendiri)
dan juga dari setan-setan (yaitu supaya jemaat menjadi tidak cerdas sehingga
tidak dapat menjadi manusia-manusia yang berkarakter ilahi seperti yang
diingini oleh Tuhan) (ay. 15). Jadi betapa berbahayanya sikap iri hati dan
mementingkan diri sendiri. Jika itu tidak segera diatasi, maka yang terjadi
adalah dusta melawan kebenaran. Dan dusta melawan kebenaran adalah dusta juga
melawan Tuhan. Mari kita belajar sungguh-sungguh mengenai kebenaran ini, supaya
kita jangan sampai berdusta melawan kebenaran. Jangan sampai kita membelokkan
jalan kebenaran hanya untuk kepentingan kita sendiri. Jangan kita memutarbalikkan
kebenaran hanya karena kita iri hati. Biarlah kita boleh hidup di dalam
kebenaran, menurut kebenaran, sampai akhir hidup kita, kita tetap membela
kebenaran yang sungguh-sungguh benar tersebut.
Bacaan
Alkitab: Yakobus 3:13-15
3:13 Siapakah di antara kamu yang bijak dan berbudi? Baiklah ia dengan cara
hidup yang baik menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari
kelemahlembutan.
3:14 Jika kamu menaruh perasaan iri hati dan kamu mementingkan diri
sendiri, janganlah kamu memegahkan diri dan janganlah berdusta melawan
kebenaran!
3:15 Itu bukanlah hikmat yang datang dari atas, tetapi dari dunia, dari
nafsu manusia, dari setan-setan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.