Rabu, 1 Februari 2017
Bacaan
Alkitab: Galatia 4:6-9
Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh
Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru: "ya Abba, ya Bapa!" (Gal 4:6)
Status Manusia sebagai Anak Allah dalam Perjanjian Baru
(Bagian 12)
Dalam suratnya kepada jemaat di
Galatia, Paulus mengatakan bahwa jemaat Galatia (dan juga seluruh jemaat di
muka bumi ini) adalah anak. Anak siapa? Tentu dalam hal ini kita adalah
anak-anak Allah. Dengan status kita sebagai orang percaya maka kita diberikan
status sebagai anak Allah. Oleh karena itulah Allah telah memberikan Roh
Anak-Nya ke dalam hati kita, sehingga kita dapat memanggil Allah dengan sebutan
Bapa (ay. 6). Dalam hal ini, kita harus paham bahwa status anak baru dapat
diberikan kepada orang-orang yang percaya kepada-Nya. Namun status itu pun
hanya sekedar status jika kita tidak mengusahakan untuk berkeadaan sepenuhnya
sebagai anak-anak Allah.
Menjadi anak Allah bukan sekedar hanya
menjadi orang yang memanggil Allah dengan sebutan Bapa. Jika makna anak Allah
hanya sedangkal itu, maka betapa miskinnya kekristenan itu. Kita dapat melihat
bahwa banyak orang Kristen dengan mudahnya memanggil Allah dengan sebutan Bapa,
ketika menyanyi memuji Tuhan menggunakan lirik lagu yang mengandung kata
“Bapa”, atau dalam penyembahan menggunakan kata “Bapa”. Apakah itu berarti
secara otomatis mereka adalah anak-anak Allah? Tentu secara status mereka sudah
bisa dibilang adalah anak-anak Allah, tetapi jika mereka tidak memiliki Roh
Anak (yaitu Roh Yesus) dalam hati mereka, maka mereka belum dapat dikatakan benar-benar
berkeadaan sebagai anak-anak Allah.
Rasul Paulus mengatakan bahwa ada
perbedaan antara menjadi seorang hamba dan seorang anak (ay 7). Tentu dalam hal
ini kita harus melihat konteks bahwa ini tidak berbicara mengenai hamba Tuhan
dan anak Tuhan, tetapi membedakan posisi antara seorang hamba dan anak dalam
arti yang sebenarnya. Dalam budaya Yahudi ataupun bangsa Romawi di masa itu,
jika seorang tuan menginstruksikan hambanya untuk melakukan sesuatu, maka hamba
tersebut akan melakukan tugas-tugasnya karena memandang sebagai suatu kewajiban
semata. Sementara jika tuan tersebut memiliki anak dan menyuruh anaknya
melakukan sesuatu, maka anak tersebut seharusnya melakukan tindakannya karena
memang ia mengasihi Bapanya, bukan karena hanya sebagai kewajiban semata-mata.
Seorang anak yang menjaga toko milik
bapanya, akan menjaga toko karena menyadari bahwa toko itu pun adalah milik
bapanya dan sekaligus miliknya nanti. Ia tahu bahwa jika tokonya sukses dan
usahanya berkembang, maka itu pun akan menjadi suatu “warisan” baginya. Sikap
seorang anak yang menjaga dan mengelola toko akan berbeda dengan seorang hamba
yang menjaga toko semata-mata hanya untuk mendapatkan gaji dan tidak dimarahi
oleh tuannya. Itulah sebabnya saya mengatakan bahwa betapa miskinnya orang
Kristen yang hidup hanya untuk mendapatkan “gaji” dari Tuhan atau supaya tidak
“dimarahi” oleh Tuhan. Kita berjuang untuk hidup suci dan kudus di hadapan
Tuhan karena kita tahu bahwa kita adalah anak-anak Allah dan kita harus
menunjukkan kualitas hidup kita sebagai anak-anak Allah yang benar. Kita
berjuang untuk hidup benar supaya orang lain bisa melihat kualitas Allah
sebagai Bapa kita, dan memuliakan nama Bapa melalui hidup kita yang mereka
lihat.
Dulu memang kita memperhambakan diri
kepada allah-allah lain sebelum kita mengenal Allah yang benar (ay. 8). Ketika kita
sudah mengenal Allah yang benar, maka kita harus berjuang untuk menjadi
anak-anak Allah yang benar. Alangkah bodohnya kita jika kita memiliki Bapa,
tetapi kita justru tidak mau menaati Bapa kita dan malah tunduk kepada orang
lain. Jika kita adalah anak-anak Allah, maka satu-satunya yang harus kita hormati
dan turuti, satu-satunya yang kehendaknya harus kita cari tahu dan lakukan
hanyalah Allah saja, selain itu adalah perselingkuhan terhadap Allah.
Mari kita bayangkan jika ada seorang
pemuda yang belum menikah, tentu wajar saja jika ia berkenalan dengan banyak gadis.
Tetapi jika pemuda tersebut sudah memutuskan untuk menjalin hubungan dengan
seorang gadis, melewati masa pacaran, tunangan, hingga menikah dengannya, maka
pemuda itu tidak boleh lagi melirik wanita lain selain pasangannya. Demikian
pula dalam hubungan kita dengan Tuhan. Dulu sebelum kita mengenal Tuhan, Tuhan
masih memaklumi keadaan kita yang belum benar-benar sempurna. Namun setelah
kita mengenal Allah dan bahkan dikenal Allah, kita tidak boleh lagi berbalik
untuk mencintai dunia (ay. 9). Allah harus menjadi satu-satunya tujuan hidup
kita di dunia ini. Itulah tanggung jawab kita sebagai anak-anak Allah yang sah,
yaitu hidup menurut tuntunan-Nya setiap hari, sebagai tanggung jawab kita
kepada Allah.
Bagaimana kita bisa membanggakan status
kita sebagai anak-anak Allah, jika kita masih memperhambakan diri kita kepada hal-hal
lainnya? Bagaimana kita bisa menyebut diri kita sebagai anak-anak Allah jika
kita masih mencintai dunia dan segala kenikmatannya? Betapa berbahayanya sikap
munafik yang dimiliki oleh sebagian orang Kristen, yang merasa bahwa status
sebagai anak-anak Allah tidak memiliki konsekuensi dalam hidup mereka. Justru dengan
status sebagai anak-anak Allah, kita harus benar-benar memperkarakan dalam
hidup kita, apakah kita sudah sungguh-sungguh pantas menjadi anak-anak Allah
yang sah?
Bacaan
Alkitab: Galatia 4:6-9
4:6 Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke
dalam hati kita, yang berseru: "ya Abba, ya Bapa!"
4:7 Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka
kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah.
4:8 Dahulu, ketika kamu tidak mengenal Allah, kamu memperhambakan diri
kepada allah-allah yang pada hakekatnya bukan Allah.
4:9 Tetapi sekarang sesudah kamu mengenal Allah, atau lebih baik, sesudah
kamu dikenal Allah, bagaimanakah kamu berbalik lagi kepada roh-roh dunia yang
lemah dan miskin dan mau mulai memperhambakan diri lagi kepadanya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.