Senin, 1 Mei 2017
Bacaan
Alkitab: 1 Korintus 15:28-32
Jika tidak demikian, apakah faedahnya perbuatan orang-orang yang dibaptis
bagi orang mati? Kalau orang mati sama sekali tidak dibangkitkan, mengapa
mereka mau dibaptis bagi orang-orang yang telah meninggal? (1 Kor 15:29)
Baptisan dalam Perjanjian Baru (Bagian 28): Dibaptis
untuk Orang Mati?
Berbicara tentang baptisan dalam
Perjanjian Baru, tidak dapat dipungkiri bahwa ada sejumlah ayat mengenai
baptisan yang cukup sulit untuk dimengerti. Salah satu ayat tersebut adalah
ayat dalam bagian bacaan Alkitab kita pada hari ini.
Bacaan Alkitab kita hari ini dimulai
dengan penjelasan bahwa Kristus telah menaklukkan segala sesuatu, supaya Allah
menjadi yang terutama (ay. 28). Ini menunjukkan keutamaan Kristus yang menjadi Juruselamat
bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya. Fakta ini penting sehingga dalam
ayat selanjutnya, disebutkan bahwa “apakah faedahnya perbuatan orang-orang yang
dibaptis bagi orang mati?” (ay. 29a). Sekilas jika membaca kalimat tersebut, maka
akan muncul pertanyaan: “apa artinya dibaptis bagi orang mati?” atau “apakah ini
berarti kita boleh dibaptis untuk orang lain yaitu mereka yang sudah mati?”.
Menjawab pertanyaan ini kita harus
melihat konteks pada masa itu yaitu pada masa jemaat mula-mula. Pada masa itu,
baptisan awalnya adalah suatu “adat” Yahudi yang kemudian oleh Yohanes
Pembaptis dijadikan sebagai lambang pertobatan. Selanjutnya, murid-murid Tuhan
Yesus menjadikan baptisan tidak hanya sebagai lambang pertobatan semata, tetapi
lebih spesifik lagi yaitu sebagai sebagai tanda seseorang mengaku percaya
kepada Yesus Kristus. Pada masa itu, baptisan seringkali berarti maut, karena
dianggap sebagai pengakuan resmi bahwa seseorang percaya kepada Yesus Kristus
yang dianggap sebagai musuh negara Romawi.
Pada waktu itu juga adalah masa-masa
transisi, dimana jemaat Tuhan belum terbentuk organisasinya secara resmi. Banyak
orang-orang yang menjadi percaya dari berbagai latar belakang agama dan kepercayaan
mereka sebelumnya. Tentu orang-orang yang percaya ini harus memberi diri
dibaptis. Namun demikian, kemungkinan besar keluarga mereka (suami/istri atau
orang tua mereka) belum sempat mendengar Injil. Oleh karena itu, kemungkinan
pertama ayat 29a dapat merujuk kepada beberapa orang yang mau dibaptis bagi
orang yang sudah mati (misalnya: orang tua mereka) yang belum sempat mendengar
Injil. Bisa juga orang tersebut mau dibaptis bagi orang tua mereka yang telah
menjadi percaya namun belum sempat dibaptis karena sudah keburu ditangkap
pasukan Romawi dan dibunuh. Mereka berharap akan tetap dapat bertemu dengan
orang tua mereka dalam kekekalan di langit yang baru dan bumi yang baru. Ingat
bahwa pada waktu itu jemaat mula-mula belum memiliki Alkitab yang telah
dikanonkan dengan lengkap, sehingga mereka sangat mengandalkan pemberitaan
Firman Tuhan oleh para rasul. Berbeda dengan kita di masa kini yang sudah
memiliki Alkitab yang lengkap dan mudah sekali mendapatkan bahan literatur dari
berbagai sumber, apalagi dari internet.
Kemungkinan kedua, bisa jadi ayat 29a
ini merujuk kepada orang-orang yang dibaptis karena melihat orang Kristen lain
yang telah mati. Mereka melihat iman yang benar dari orang-orang Kristen ini
sehingga mereka pun mau dibaptis “karena” orang yang sudah mati tersebut. Namun
demikian, apapun kemungkinan di ayat 29 tersebut, intinya bukan pada “baptisan bagi
orang mati”, karena konteks ayat-ayat ini adalah mengenai kematian dan
kebangkitan Kristus. Inilah yang jauh lebih penting yaitu kematian dan
kebangkitan Kristus membawa dampak nyata yaitu akan adanya kebangkitan bagi
orang-orang mati (ay. 29b). Hal tersebutlah yang diyakini oleh Paulus dengan
sungguh-sungguh, sehingga dikatakan bahwa setiap saat ia membawa diri ke dalam
bahaya, berhadapan dengan maut, bahkan berjuang melawan binatang buas (ay. 30, 31,
32a).
Memang kalimat “dibaptis bagi orang
mati” hanya ditulis 1 kali saja dalam Alkitab Perjanjian Baru, sehingga agak
sulit mencari konteks kalimat tersebut khususnya dalam sejarah gereja
mula-mula. Ilustrasinya adalah seperti ini: pada akhir tahun 2016 hingga awal
2017, kita sempat mendengar kata “fitsa hats” yang cukup terkenal dan viral di
media sosial. Bayangkan jika 2.000 tahun lagi (jika Tuhan belum datang lagi)
dan dilakukan penggalian di Indonesia, lalu ada suatu dokumen dengan tulisan “fitsa
hats”, tentu para arkeolog pada masa itu akan bingung mengenai makna dari kata “fitsa
hats” tersebut. Bayangkan kondisi tersebut 2.000 tahun yang lalu, dimana belum
ada internet yang menyimpan jutaan bahkan triliunan data. Tentu akan sulit
untuk mengira-ngira apa konteks dari kalimat “dibaptis bagi orang mati” pada
masa itu.
Bagi saya, mengingat ayat 29a hanya
disebutkan 1 kali dalam Alkitab (dan tidak ada rujukan lain di dalam Alkitab
mengenai hal ini), maka cukuplah kita menganggap hal itu sebagai suatu “dinamika”
dalam kehidupan jemaat mula-mula khususnya di kota Korintus. Bagi saya secara
pribadi, ini masih tetap menjadi suatu “misteri” yang sulit ditelusuri karena
keterbatasan data-data. Namun, saya berpendapat bahwa dengan tidak mengetahui
hal ini tidak akan mengurangi iman kita, dan kalaupun kita mengetahui hal ini
maka itu pun tidak akan menambah iman kita secara signifikan. Oleh karena itu,
ayat 29a menurut saya pribadi tidak dapat dijadikan acuan yang pasti bagi
baptisan di gereja pada masa kini. Jika ada gereja atau pendeta yang kemudian
menggunakan ayat 29a untuk membaptis jemaat bagi mereka yang sudah mati (misal
bagi orang tua yang sudah meninggal dunia), maka itu akan menjadi kurang tepat.
Jika memang hal itu adalah suatu kewajiban bagi orang Kristen, maka kita tidak
perlu dibaptis, karena nanti orang lain akan bisa dibaptis bagi kita. Hal itu
tidaklah tepat karena tidak akan membentuk karakter orang Kristen untuk bisa
berjuang hidup sempurna di hadapan Tuhan. Ajaran seperti ini dapat dikatakan
sebagai suatu “penyesatan yang halus” karena membuat orang tidak bertanggung
jawab atas hidupnya dan justru membuat orang lain bertanggung jawab atas
keselamatan diri kita. Padahal Alkitab dengan tegas mengatakan bahwa setiap orang
akan memberikan pertanggungjawaban atas dirinya sendiri di hadapan Allah, antara
lain juga termasuk dari setiap perkataan yang kita ucapkan (Mat 12:36, Rm
14:12, Ibr 4:13)
Oleh karena itu, hal yang jauh lebih
penting lagi adalah inti dari perikop ini yaitu bahwa Kristus telah
dibangkitkan. Kebangkitan Kristus tersebut membawa konsekuensi logis yaitu
bahwa orang mati akan dibangkitkan. Inilah pengharapan dan sukacita kita, yaitu
bahwa semua orang mati termasuk kita akan dibangkitkan. Jika tidak ada
kebangkitan, maka sia-sialah iman kita selama ini. Jika tidak ada kebangkitan,
maka kita lebih baik makan dan minum karena besok kita akan mati. Namun karena
adanya kepastian mengenai kebangkitan, maka apa yang kita lakukan di dunia ini
akan terbawa hingga ke kekekalan. Sudahkah kita mempersiapkan diri kita
menyambut kekekalan tersebut?
Bacaan
Alkitab: 1 Korintus 15:28-32
15:28 Tetapi kalau segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah Kristus, maka
Ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan diri-Nya di bawah Dia, yang telah
menaklukkan segala sesuatu di bawah-Nya, supaya Allah menjadi semua di dalam
semua.
15:29 Jika tidak demikian, apakah faedahnya perbuatan orang-orang yang
dibaptis bagi orang mati? Kalau orang mati sama sekali tidak dibangkitkan, mengapa
mereka mau dibaptis bagi orang-orang yang telah meninggal?
15:30 Dan kami juga -- mengapakah kami setiap saat membawa diri kami ke
dalam bahaya?
15:31 Saudara-saudara, tiap-tiap hari aku berhadapan dengan maut. Demi
kebanggaanku akan kamu dalam Kristus Yesus, Tuhan kita, aku katakan, bahwa hal
ini benar.
15:32 Kalau hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan manusia saja aku
telah berjuang melawan binatang buas di Efesus, apakah gunanya hal itu bagiku?
Jika orang mati tidak dibangkitkan, maka "marilah kita makan dan minum,
sebab besok kita mati".