Minggu, 30 April 2017

Baptisan dalam Perjanjian Baru (Bagian 28): Dibaptis untuk Orang Mati?



Senin, 1 Mei 2017
Bacaan Alkitab: 1 Korintus 15:28-32
Jika tidak demikian, apakah faedahnya perbuatan orang-orang yang dibaptis bagi orang mati? Kalau orang mati sama sekali tidak dibangkitkan, mengapa mereka mau dibaptis bagi orang-orang yang telah meninggal? (1 Kor 15:29)


Baptisan dalam Perjanjian Baru (Bagian 28): Dibaptis untuk Orang Mati?


Berbicara tentang baptisan dalam Perjanjian Baru, tidak dapat dipungkiri bahwa ada sejumlah ayat mengenai baptisan yang cukup sulit untuk dimengerti. Salah satu ayat tersebut adalah ayat dalam bagian bacaan Alkitab kita pada hari ini. 

Bacaan Alkitab kita hari ini dimulai dengan penjelasan bahwa Kristus telah menaklukkan segala sesuatu, supaya Allah menjadi yang terutama (ay. 28). Ini menunjukkan keutamaan Kristus yang menjadi Juruselamat bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya. Fakta ini penting sehingga dalam ayat selanjutnya, disebutkan bahwa “apakah faedahnya perbuatan orang-orang yang dibaptis bagi orang mati?” (ay. 29a). Sekilas jika membaca kalimat tersebut, maka akan muncul pertanyaan: “apa artinya dibaptis bagi orang mati?” atau “apakah ini berarti kita boleh dibaptis untuk orang lain yaitu mereka yang sudah mati?”.

Menjawab pertanyaan ini kita harus melihat konteks pada masa itu yaitu pada masa jemaat mula-mula. Pada masa itu, baptisan awalnya adalah suatu “adat” Yahudi yang kemudian oleh Yohanes Pembaptis dijadikan sebagai lambang pertobatan. Selanjutnya, murid-murid Tuhan Yesus menjadikan baptisan tidak hanya sebagai lambang pertobatan semata, tetapi lebih spesifik lagi yaitu sebagai sebagai tanda seseorang mengaku percaya kepada Yesus Kristus. Pada masa itu, baptisan seringkali berarti maut, karena dianggap sebagai pengakuan resmi bahwa seseorang percaya kepada Yesus Kristus yang dianggap sebagai musuh negara Romawi.

Pada waktu itu juga adalah masa-masa transisi, dimana jemaat Tuhan belum terbentuk organisasinya secara resmi. Banyak orang-orang yang menjadi percaya dari berbagai latar belakang agama dan kepercayaan mereka sebelumnya. Tentu orang-orang yang percaya ini harus memberi diri dibaptis. Namun demikian, kemungkinan besar keluarga mereka (suami/istri atau orang tua mereka) belum sempat mendengar Injil. Oleh karena itu, kemungkinan pertama ayat 29a dapat merujuk kepada beberapa orang yang mau dibaptis bagi orang yang sudah mati (misalnya: orang tua mereka) yang belum sempat mendengar Injil. Bisa juga orang tersebut mau dibaptis bagi orang tua mereka yang telah menjadi percaya namun belum sempat dibaptis karena sudah keburu ditangkap pasukan Romawi dan dibunuh. Mereka berharap akan tetap dapat bertemu dengan orang tua mereka dalam kekekalan di langit yang baru dan bumi yang baru. Ingat bahwa pada waktu itu jemaat mula-mula belum memiliki Alkitab yang telah dikanonkan dengan lengkap, sehingga mereka sangat mengandalkan pemberitaan Firman Tuhan oleh para rasul. Berbeda dengan kita di masa kini yang sudah memiliki Alkitab yang lengkap dan mudah sekali mendapatkan bahan literatur dari berbagai sumber, apalagi dari internet.

Kemungkinan kedua, bisa jadi ayat 29a ini merujuk kepada orang-orang yang dibaptis karena melihat orang Kristen lain yang telah mati. Mereka melihat iman yang benar dari orang-orang Kristen ini sehingga mereka pun mau dibaptis “karena” orang yang sudah mati tersebut. Namun demikian, apapun kemungkinan di ayat 29 tersebut, intinya bukan pada “baptisan bagi orang mati”, karena konteks ayat-ayat ini adalah mengenai kematian dan kebangkitan Kristus. Inilah yang jauh lebih penting yaitu kematian dan kebangkitan Kristus membawa dampak nyata yaitu akan adanya kebangkitan bagi orang-orang mati (ay. 29b). Hal tersebutlah yang diyakini oleh Paulus dengan sungguh-sungguh, sehingga dikatakan bahwa setiap saat ia membawa diri ke dalam bahaya, berhadapan dengan maut, bahkan berjuang melawan binatang buas (ay. 30, 31, 32a).

Memang kalimat “dibaptis bagi orang mati” hanya ditulis 1 kali saja dalam Alkitab Perjanjian Baru, sehingga agak sulit mencari konteks kalimat tersebut khususnya dalam sejarah gereja mula-mula. Ilustrasinya adalah seperti ini: pada akhir tahun 2016 hingga awal 2017, kita sempat mendengar kata “fitsa hats” yang cukup terkenal dan viral di media sosial. Bayangkan jika 2.000 tahun lagi (jika Tuhan belum datang lagi) dan dilakukan penggalian di Indonesia, lalu ada suatu dokumen dengan tulisan “fitsa hats”, tentu para arkeolog pada masa itu akan bingung mengenai makna dari kata “fitsa hats” tersebut. Bayangkan kondisi tersebut 2.000 tahun yang lalu, dimana belum ada internet yang menyimpan jutaan bahkan triliunan data. Tentu akan sulit untuk mengira-ngira apa konteks dari kalimat “dibaptis bagi orang mati” pada masa itu.

Bagi saya, mengingat ayat 29a hanya disebutkan 1 kali dalam Alkitab (dan tidak ada rujukan lain di dalam Alkitab mengenai hal ini), maka cukuplah kita menganggap hal itu sebagai suatu “dinamika” dalam kehidupan jemaat mula-mula khususnya di kota Korintus. Bagi saya secara pribadi, ini masih tetap menjadi suatu “misteri” yang sulit ditelusuri karena keterbatasan data-data. Namun, saya berpendapat bahwa dengan tidak mengetahui hal ini tidak akan mengurangi iman kita, dan kalaupun kita mengetahui hal ini maka itu pun tidak akan menambah iman kita secara signifikan. Oleh karena itu, ayat 29a menurut saya pribadi tidak dapat dijadikan acuan yang pasti bagi baptisan di gereja pada masa kini. Jika ada gereja atau pendeta yang kemudian menggunakan ayat 29a untuk membaptis jemaat bagi mereka yang sudah mati (misal bagi orang tua yang sudah meninggal dunia), maka itu akan menjadi kurang tepat. Jika memang hal itu adalah suatu kewajiban bagi orang Kristen, maka kita tidak perlu dibaptis, karena nanti orang lain akan bisa dibaptis bagi kita. Hal itu tidaklah tepat karena tidak akan membentuk karakter orang Kristen untuk bisa berjuang hidup sempurna di hadapan Tuhan. Ajaran seperti ini dapat dikatakan sebagai suatu “penyesatan yang halus” karena membuat orang tidak bertanggung jawab atas hidupnya dan justru membuat orang lain bertanggung jawab atas keselamatan diri kita. Padahal Alkitab dengan tegas mengatakan bahwa setiap orang akan memberikan pertanggungjawaban atas dirinya sendiri di hadapan Allah, antara lain juga termasuk dari setiap perkataan yang kita ucapkan (Mat 12:36, Rm 14:12, Ibr 4:13)

Oleh karena itu, hal yang jauh lebih penting lagi adalah inti dari perikop ini yaitu bahwa Kristus telah dibangkitkan. Kebangkitan Kristus tersebut membawa konsekuensi logis yaitu bahwa orang mati akan dibangkitkan. Inilah pengharapan dan sukacita kita, yaitu bahwa semua orang mati termasuk kita akan dibangkitkan. Jika tidak ada kebangkitan, maka sia-sialah iman kita selama ini. Jika tidak ada kebangkitan, maka kita lebih baik makan dan minum karena besok kita akan mati. Namun karena adanya kepastian mengenai kebangkitan, maka apa yang kita lakukan di dunia ini akan terbawa hingga ke kekekalan. Sudahkah kita mempersiapkan diri kita menyambut kekekalan tersebut?



Bacaan Alkitab: 1 Korintus 15:28-32
15:28 Tetapi kalau segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah Kristus, maka Ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan diri-Nya di bawah Dia, yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawah-Nya, supaya Allah menjadi semua di dalam semua.
15:29 Jika tidak demikian, apakah faedahnya perbuatan orang-orang yang dibaptis bagi orang mati? Kalau orang mati sama sekali tidak dibangkitkan, mengapa mereka mau dibaptis bagi orang-orang yang telah meninggal?
15:30 Dan kami juga -- mengapakah kami setiap saat membawa diri kami ke dalam bahaya?
15:31 Saudara-saudara, tiap-tiap hari aku berhadapan dengan maut. Demi kebanggaanku akan kamu dalam Kristus Yesus, Tuhan kita, aku katakan, bahwa hal ini benar.
15:32 Kalau hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan manusia saja aku telah berjuang melawan binatang buas di Efesus, apakah gunanya hal itu bagiku? Jika orang mati tidak dibangkitkan, maka "marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.