Sabtu, 13 April 2013

Jangan Membandingkan yang Dulu dengan yang Sekarang



Jumat, 12 April 2013
Bacaan Alkitab: Pengkhotbah 7:8-10
Janganlah mengatakan: "Mengapa zaman dulu lebih baik dari pada zaman sekarang?" Karena bukannya berdasarkan hikmat engkau menanyakan hal itu.” (Pkh 7:10)


Jangan Membandingkan yang Dulu dengan yang Sekarang


Memang salah satu sifat jelek manusia adalah suka membanding-bandingkan. Sebagai contoh, jika di sekolah kita mendapat nilai 7, maka kita akan mencoba melihat nilai teman kita. Misal ia dapat nilai 8, kita akan berkata, “Padahal jawaban saya sama jawaban dia cuma beda sedikit, kok dia bisa dapat nilai 8 sementara saya cuma dapat nilai 7?”. Hal yang sama terjadi ketika kita bekerja, “Kok dia dan saya kerjanya sama tetapi dia lebih cepat naik pangkat sementara dia tidak?”. Atau setelah menikah kita juga membandingkan, “Kok dia bisa dapat isteri yang cantik sementara saya yang biasa?” atau “Kok dia bisa punya anak sementara saya sampai sekarang tidak punya anak, padahal kan saya sudah jauh lebih banyak melayani Tuhan dibanding dia?”. Begitu seterusnya tidak ada akhirnya.

Bahkan banyak di antara manusia yang juga suka membanding-bandingkan kondisi masa lalu dengan masa sekarang. Ada orang yang berkata, “Ah, sepertinya masih lebih enak zaman dahulu deh. Dulu itu makanan murah, bensin murah, semua aman, nggak seperti sekarang ini, mau cari uang saja sulitnya setengah mati”. Benarkah demikian? Lalu bagaimana kita harus bersikap?

Firman Tuhan hari ini berbicara tentang masa atau waktu. Bagaimanapun panjangnya suatu masa atau waktu di dunia ini, pasti ada akhir dari masa tersebut. Sebagai contoh, umur kita walaupun bisa mencapai 100 tahun di dunia ini, pasti ada saat dimana kita harus mati. Kekekalan hanya ada di surga atau neraka nanti. Oleh karena itu, sang pengkhotbah (penulis kitab ini) menulis suatu prinsip yang sangat luar biasa: “Akhir suatu hal lebih baik daripada awalnya” (ay. 8a). Mengapa demikian? Bagaimanapun suatu hal pasti ada akhirnya. Akhir tersebut berbicara tentang tujuan dan visi yang akan dicapai. Akhir suatu hal berbicara apakah kita sudah bisa mengakhiri segala sesuatu dengan baik sesuai rencana dan target kita semula.

Oleh karena itu, sang pengkhotbah juga berkata bahwa kita tidak boleh memandang bahwa masa lalu itu lebih baik daripada masa sekarang (ay. 10a). Itu sama saja dengan pemikiran yang tanpa memiliki hikmat (ay. 10b). Ada masa untuk segala sesuatunya. Masa lalu, sudah berakhir, dan masa sekarang adalah yang harus kita jalani. Masa lalu tidak akan dapat kita ubah, sehingga untuk apa membanding-bandingkan masa lalu dengan masa sekarang? Justru yang menjadi persoalan adalah kita harus bekerja sebaik-baiknya di masa sekarang ini agar di masa depan kita boleh menuai hasil yang baik pula.

Kita justru harus mengisi masa kini dengan sebaik-baiknya, daripada duduk diam dan merenung kondisi di masa lalu yang “terasa lebih baik” daripada kondisi di masa sekarang ini. Apa yang dapat kita lakukan? Minimal kita harus memilki pola pikir yang tidak suka menggerutu melihat kondisi orang lain yang jauh lebih baik atau jauh lebih beruntung dari kita. Kita harus memiliki hati yang sabar. Bukankah panjang sabar itu lebih baik daripada tinggi hati (ay. 8b)? Bukankah orang yang suka marah-marah tanpa alasan yang jelas (misal karena melihat masa lalu jauh lebih baik daripada masa sekarang) itu juga menunjukkan bahwa orang tersebut adalah orang yang bodoh (ay. 9)? Justru orang yang berhikmat akan melihat bahwa di setiap masa pun, ada Tuhan yang tetap mengatur segala sesuatunya. Sehingga kita tidak perlu kuatir tentang apapun juga, karena kita percaya Tuhan sanggup menyertai kita dalam segala kondisi, bahkan ketika masa sekarang ini sepertinya lebih sulit daripada masa lalu.


Bacaan Alkitab: Pengkhotbah 7:8-10
7:8 Akhir suatu hal lebih baik dari pada awalnya. Panjang sabar lebih baik dari pada tinggi hati.
7:9 Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh.
7:10 Janganlah mengatakan: "Mengapa zaman dulu lebih baik dari pada zaman sekarang?" Karena bukannya berdasarkan hikmat engkau menanyakan hal itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.