Selasa,
29 Mei 2012
Bacaan
Alkitab: Matius 7:1-5
“Mengapakah engkau melihat
selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau
ketahui?” (Mat
7:3)
Nobody’s
Perfect
Ada salah seorang teman saya berkata, “Kalau mau
mencari pasangan hidup, lihat dulu pekerjaan orang tuanya. Kalau orang tuanya
auditor atau pendeta, harus benar-benar siap mental untuk menghadapinya”.
Karena saya juga berprofesi sebagai auditor, saya merenungkan makna kalimat
tersebut. Iya juga sih, karena auditor itu pada intinya adalah membandingkan
kondisi yang ada dengan kondisi yang seharusnya, jadi mata auditor itu sangat
teliti melihat kekurangan-kekurangan atau kesalahan-kesalahan yang ada. Bayangkan
jika calon mertua kita adalah seorang auditor, sebagian besar mereka akan
mencari-cari kekurangan dari sang calon menantunya. Yang penampilannya kurang
sopan, yang pekerjaannya kurang bonafid, dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana jika memiliki calon mertua seorang
pendeta? Jika seorang auditor memang terlatih untuk mengamati apa yang tidak
sesuai dengan standar, seorang pendeta (atau pengkhotbah) cenderung terbiasa
menyampaikan kebenaran, sehingga mereka cenderung menganggap apa yang dikatakan
adalah kebenaran, termasuk juga mereka cenderung menganggap bahwa pandangan
atau pikiran mereka tersebut adalah kebenaran, termasuk sering menggunakan
ayat-ayat Alkitab. Bayangkan ketika kita sedang mengapeli anak pendeta,
kemudian orang tuanya yang pendeta itu datang dan bertanya, “Mengapa anda
pacaran dengan anak saya?”. Apa yang akan kita katakan? Mau jawab dengan
kata-kata “Karena saya sayang sama anak Om”, kok rasanya kurang Alkitabiah ya.
Mau jawab sedikit alkitabiah dengan kata-kata “Karena anak Om itu adalah tulang
rusuk saya yang hilang”, takutnya nanti calon mertua merasa tersinggung. Serba
salah bukan?
Ya walaupun demikian, saya juga sependapat bahwa
para auditor dan para pendeta belum tentu semuanya akan bersikap seperti itu,
bisa saja mereka justru sangat ramah kepada calon menantunya. Tetapi yang ingin
saya tekankan di sini adalah bahwa manusia, terutama kedua profesi yang saya
sebutkan di atas, memiliki kecenderungan untuk mengukur orang lain sesuai
dengan sudut pandangnya. Sangat mudah bagi manusia untuk menghakimi sesamanya,
padahal sebenarnya dirinya sendiri pun belum tentu lebih baik dari orang
tersebut.
Yesus sendiri berkata, “Jangan kamu menghakimi,
supaya kamu tidak dihakimi” (ay. 1). Apa maksudnya menghakimi? Secara singkat,
menghakimi berarti menjadi hakim terhadap orang lain, padahal kita sebenarnya
tidak seharusnya berada dalam posisi hakim. Contoh yang paling sederhana,
ketika ada orang yang mengalami musibah, tanpa pikir panjang kita kemudian
berkata, “Ah itu pasti karena ia sudah berdosa terhadap Tuhan”. Padahal, Tuhan
sendiri juga bisa saja memberikan cobaan kepada seseorang walaupun orang
tersebut adalah orang benar, contohnya Ayub.
Kita tidak boleh menghakimi orang lain, karena
ketika kita melakukan hal tersebut, maka Tuhan akan menggunakan ukuran yang
kita pakai untuk menghakimi kita (ay. 2). Dengan menghakimi maka kita
seakan-akan bertindak sebagai Tuhan sendiri. Seringkali kita meihat kesalahan
orang lain yang sebetulnya kecil, contohnya “Eh, kok pendeta kita kalau lagi
khotbah suka kebanyakan pake kata Amin ya?”, atau “Ternyata si anu kalau jadi worship leader kakinya suka gerak-gerak
sendiri”. Pantaskah kita berbicara seperti itu, atau lebih parah lagi
menggosipkan orang lain? Padahal mungkin kita sendiri belum tentu bisa lebih
baik dari mereka ketika kita menggantikan pelayanan mereka.
Bukan berarti kita tidak boleh melihat kekurangan
orang lain. Kita boleh saja memperhatikan orang lain dan memberi
masukan-masukan atas kekurangan mereka, selama kita tidak berniat menghakimi.
Perbedaan antara menghakimi atau tidak terlihat dalam contoh seperti ini:
Ketika kita menghakimi, kita akan berkata, “Saudara, ada debu dalam matamu, ayo
cepat keluarkan, soalnya kamu nanti nggak bisa lihat yang benar lho”, padahal
ada balok kayu besar di dalam mata kita (ay. 3-5). Sementara sikap yang “agak”
tidak menghakimi antara lain, “Saudara, aku melihat ada debu di dalam matamu,
tetapi tolong kamu juga bantu lihat, apakah di mataku juga ada debu atau justru
kotoran yang lebih besar? Kalau ada mari kita sama-sama mengeluarkan debu itu
dari mata kita masing-masing agar kita dapat melihat lebih jelas lagi”.
Singkatnya, menghakimi cenderung lebih menganggap diri kita lebih baik daripada
orang lain, sedangkan tidak menghakimi adalah sikap kita yang berpikir untuk
mendorong kita dan orang lain menjadi lebih baik lagi.
Bacaan
Alkitab: Matius 7:1-5
7:1 "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu
tidak dihakimi.
7:2 Karena dengan penghakiman yang kamu pakai
untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur,
akan diukurkan kepadamu.
7:3 Mengapakah engkau melihat selumbar di mata
saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?
7:4 Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada
saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok
di dalam matamu.
7:5 Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok
dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar
itu dari mata saudaramu."