Senin, 28 Mei 2012

Nobody’s Perfect


Selasa, 29 Mei 2012
Bacaan Alkitab: Matius 7:1-5
Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” (Mat 7:3)


Nobody’s Perfect


Ada salah seorang teman saya berkata, “Kalau mau mencari pasangan hidup, lihat dulu pekerjaan orang tuanya. Kalau orang tuanya auditor atau pendeta, harus benar-benar siap mental untuk menghadapinya”. Karena saya juga berprofesi sebagai auditor, saya merenungkan makna kalimat tersebut. Iya juga sih, karena auditor itu pada intinya adalah membandingkan kondisi yang ada dengan kondisi yang seharusnya, jadi mata auditor itu sangat teliti melihat kekurangan-kekurangan atau kesalahan-kesalahan yang ada. Bayangkan jika calon mertua kita adalah seorang auditor, sebagian besar mereka akan mencari-cari kekurangan dari sang calon menantunya. Yang penampilannya kurang sopan, yang pekerjaannya kurang bonafid, dan lain sebagainya.

Lalu bagaimana jika memiliki calon mertua seorang pendeta? Jika seorang auditor memang terlatih untuk mengamati apa yang tidak sesuai dengan standar, seorang pendeta (atau pengkhotbah) cenderung terbiasa menyampaikan kebenaran, sehingga mereka cenderung menganggap apa yang dikatakan adalah kebenaran, termasuk juga mereka cenderung menganggap bahwa pandangan atau pikiran mereka tersebut adalah kebenaran, termasuk sering menggunakan ayat-ayat Alkitab. Bayangkan ketika kita sedang mengapeli anak pendeta, kemudian orang tuanya yang pendeta itu datang dan bertanya, “Mengapa anda pacaran dengan anak saya?”. Apa yang akan kita katakan? Mau jawab dengan kata-kata “Karena saya sayang sama anak Om”, kok rasanya kurang Alkitabiah ya. Mau jawab sedikit alkitabiah dengan kata-kata “Karena anak Om itu adalah tulang rusuk saya yang hilang”, takutnya nanti calon mertua merasa tersinggung. Serba salah bukan?

Ya walaupun demikian, saya juga sependapat bahwa para auditor dan para pendeta belum tentu semuanya akan bersikap seperti itu, bisa saja mereka justru sangat ramah kepada calon menantunya. Tetapi yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa manusia, terutama kedua profesi yang saya sebutkan di atas, memiliki kecenderungan untuk mengukur orang lain sesuai dengan sudut pandangnya. Sangat mudah bagi manusia untuk menghakimi sesamanya, padahal sebenarnya dirinya sendiri pun belum tentu lebih baik dari orang tersebut.

Yesus sendiri berkata, “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi” (ay. 1). Apa maksudnya menghakimi? Secara singkat, menghakimi berarti menjadi hakim terhadap orang lain, padahal kita sebenarnya tidak seharusnya berada dalam posisi hakim. Contoh yang paling sederhana, ketika ada orang yang mengalami musibah, tanpa pikir panjang kita kemudian berkata, “Ah itu pasti karena ia sudah berdosa terhadap Tuhan”. Padahal, Tuhan sendiri juga bisa saja memberikan cobaan kepada seseorang walaupun orang tersebut adalah orang benar, contohnya Ayub.

Kita tidak boleh menghakimi orang lain, karena ketika kita melakukan hal tersebut, maka Tuhan akan menggunakan ukuran yang kita pakai untuk menghakimi kita (ay. 2). Dengan menghakimi maka kita seakan-akan bertindak sebagai Tuhan sendiri. Seringkali kita meihat kesalahan orang lain yang sebetulnya kecil, contohnya “Eh, kok pendeta kita kalau lagi khotbah suka kebanyakan pake kata Amin ya?”, atau “Ternyata si anu kalau jadi worship leader kakinya suka gerak-gerak sendiri”. Pantaskah kita berbicara seperti itu, atau lebih parah lagi menggosipkan orang lain? Padahal mungkin kita sendiri belum tentu bisa lebih baik dari mereka ketika kita menggantikan pelayanan mereka.

Bukan berarti kita tidak boleh melihat kekurangan orang lain. Kita boleh saja memperhatikan orang lain dan memberi masukan-masukan atas kekurangan mereka, selama kita tidak berniat menghakimi. Perbedaan antara menghakimi atau tidak terlihat dalam contoh seperti ini: Ketika kita menghakimi, kita akan berkata, “Saudara, ada debu dalam matamu, ayo cepat keluarkan, soalnya kamu nanti nggak bisa lihat yang benar lho”, padahal ada balok kayu besar di dalam mata kita (ay. 3-5). Sementara sikap yang “agak” tidak menghakimi antara lain, “Saudara, aku melihat ada debu di dalam matamu, tetapi tolong kamu juga bantu lihat, apakah di mataku juga ada debu atau justru kotoran yang lebih besar? Kalau ada mari kita sama-sama mengeluarkan debu itu dari mata kita masing-masing agar kita dapat melihat lebih jelas lagi”. Singkatnya, menghakimi cenderung lebih menganggap diri kita lebih baik daripada orang lain, sedangkan tidak menghakimi adalah sikap kita yang berpikir untuk mendorong kita dan orang lain menjadi lebih baik lagi.


Bacaan Alkitab: Matius 7:1-5
7:1 "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.
7:2 Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.
7:3 Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?
7:4 Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu.
7:5 Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.