Selasa, 12 Maret 2013

Bercerai atau Tetap Bertahan?



Rabu, 13 Maret 2013
Bacaan Alkitab: 1 Korintus 7:10-16
Kepada orang-orang yang telah kawin aku -- tidak, bukan aku, tetapi Tuhan -- perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya.” (1 Kor 7:10-11)


Bercerai atau Tetap Bertahan?


Alkisah ada seorang gadis Kristen yang berpacaran dengan seorang pemuda yang tidak seiman. Mereka berpacaran kelewat batas sehingga si gadis hamil. Pemuda tersebut untungnya mau bertanggung jawab dengan menikahi si gadis hingga anaknya lahir. Akan tetapi, kemudian mereka sering bertengkar sehingga si gadis pun lari kembali ke rumah orang tuanya, sementara si anak  tinggal bersama dengan pemuda tersebut dan keluarganya. Selang beberapa tahun, mereka hidup terpisah. Sang pemuda ingin si gadis bersama kembali, tetapi si gadis menolak hingga saat ini. Akibatnya, status mereka pun tidak jelas. Mereka suami isteri tetapi berbeda iman dan berbeda tempat. Anak mereka juga semakin tidak jelas lagi, dan ada potensi bahwa anak tersebut akan mengikuti agama ayahnya.

Tulisan di atas sebenarnya diangkat dari sebuah kisah nyata. Lalu apa  yang harus dilakukan jika kita berada dalam posisi tersebut? Apakah kita boleh menceraikan, atau tidak boleh bercerai? Untuk menjawab pertanyaan  tersebut, kita perlu sungguh-sungguh memperhatikan Firman Tuhan, sehingga kita tidak salah menafsirkan. Alangkah baiknya jika kita tidak hanya mengambil satu ayat, tetapi juga ayat-ayat lain yang berkaitan.

Bacaan Alkitab kita hari ini bisa dibagi menjadi dua bagian: Bagian pertama adalah ayat 10 sampai 11, dan bagian kedua adalah ayat 12 sampai 16. Bagian pertama berbicara tentang orang-orang yang  telah kawin (ay. 10a). Siapa yang dimaksud dengan orang-orang dalam ayat ini? Kita harus melihat bahwa kitab 1 Korintus ini adalah kitab yang ditujukan Paulus kepada jemaat di Korintus, yaitu orang-orang percaya di kota Korintus. Oleh karena itu, karena konteks ayat ini adalah bagi jemaat atau anak-anak Tuhan, sehingga ayat 10 sampai 12 ini berlaku bagi setiap jemaat, yaitu seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya (ay. 10b) dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya (ay. 11b). Lalu apa maksud dari ayat 11a yang berbunyi: “Jikalau ia (isteri) bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya” (ay. 11a)? Kembali ke konteks tulisan ini dibuat, adalah bahwa mungkin saat itu ada jemaat Tuhan yang sudah terlanjur bercerai pada saat mereka berdua percaya kepada Tuhan. Jika itu yang terjadi, maka berlaku ayat 11a, yaitu ia kembali berdamai dengan suaminya, atau tetap hidup melajang dan  tidak mencari suami baru, karena Tuhan Yesus sendiri juga berkata bahwa ketika seseorang menceraikan pasangannya lalu menikah lagi, maka sesungguhnya mereka hidup dalam zinah (Mrk 10:11-12). Ingat bahwa ini adalah perintah Tuhan, dan bukan pendapat Paulus secara pribadi (ay. 10a)

Bagian kedua berbicara tentang orang-orang lain yang memiliki pasangan hidup yang tidak seiman. Ini bukan berarti pembenaran bahwa kita boleh mencari pasangan hidup yang tidak seiman, karena dalam ayat lain Paulus sendiri mengatakan agar kita jangan mencari pasangan hidup yang tidak seimbang (2 Kor 6:14). Oleh karena itu, ayat 12 sampai 16 harus dilihat dalam konteks jemaat Korintus pada waktu itu, yaitu ketika Paulus menyampaikan Firman Tuhan, ada orang-orang yang dulunya sudah menikah (mereka sama-sama belum mengenal Tuhan Yesus), dan salah satu dari mereka (entah suami atau isterinya) menjadi percaya kepada Tuhan. Sehingga, mereka yang dahulu sama-sama belum percaya, kini salah satu menjadi percaya.

Sehingga Paulus pun menyampaikan ayat 12 sampai 16 dengan konteks seperti itu. Ini bukanlah perintah Tuhan sendiri, tetapi ini adalah pendapat Paulus (walaupun kita tahu bahwa Paulus menulis ini dalam ilham dan bimbingan Roh Kudus). Ada orang percaya yang hidup dengan isteri yang belum seiman (ay. 12a), dan juga ada isteri yang bersuami orang yang belum seiman (ay. 13a). Lalu apa yang seharusnya dilakukan mereka? Paulus berkata bahwa apapun yang  terjadi, mereka tetap tidak boleh menceraikan isteri atau suami mereka, sepanjang isteri atau suami mereka mau hidup bersama-sama dengan dia (ay. 12b & 13b).

Tetapi jika ternyata isteri atau suami mereka yang belum percaya ternyata minta untuk bercerai, maka orang percaya itu tidak boleh menolak, karena mereka sebenarnya tidak terikat (ay. 15a). Mengapa demikian? Tuhan memang membenci perceraian, tetapi sebenarnya pernikahan orang-orang ini (dalam konteks ayat 12 sampai 16) adalah pernikahan di luar Kristus. Mereka menikah sebelum mereka mengerti arti pernikahan kudus menurut Alkitab, sehingga andaikan mereka bercerai pun itu tidak masalah. Yang menjadi patokannya adalah apakah ada damai sejahtera atau tidak (ay. 15b).

Perhatikan ayat 14 yang menyatakan bahwa bagi pasangan dengan kondisi seperti ini (awalnya mereka berdua belum percaya kepada Tuhan kemudian salah seorang menjadi percaya kepada Tuhan),  maka sesungguhnya orang yang percaya itu menguduskan pasangannya (ay. 14a). Bahkan anak-anak mereka (yang lahir sebelum salah satu dari mereka percaya kepada Tuhan, atau terlebih yang lahir setelah salah satu dari mereka percaya kepada Tuhan), adalah anak-anak yang kudus, bukan anak-anak cemar (ay. 14b). Ingat bahwa ayat ini bukan alasan bagi kita untuk membenarkan menikah dengan orang yang tidak seiman. Ini adalah dalam konteks ada orang yang belum percaya kemudian menjadi percaya walaupun mereka telah menikah sebelumnya. Orang seperti ini justru akan menguduskan keluarganya melalui iman, sehingga melalui orang percaya tersebut seisi rumahnya pun akan diselamatkan. Ingat bahwa terkadang Tuhan  pun memakai kita menjadi sarana kesselamatan bagi orang lain, termasuk anggota keluarga kita yang belum seiman, termasuk pasangan kita, anak-anak kita, orang tua kita, atau siapapun juga (ay. 16).

Lalu kembali ke pertanyaan awal, bagaimana dengan wanita dalam cerita saya di atas? Apa yang harus ia lakukan? Jujur ini adalah pertanyaan sulit. Mengapa? Karena tidak ada kasus yang sama 100% seperti ini di dalam Alkitab. Akan tetapi, jika melihat kondisi bahwa wanita itu sebenarnya sudah mengerti Firman Tuhan sebelumnya, maka ayat 12 sampai 16 sudah tidak berlaku lagi. Ia tidak boleh mengharapkan suaminya menceraikan karena ia sendiri sudah menikah dalam kondisi sudah mengerti kebenaran Firman Tuhan. Statusnya pun saat ini belum bercerai, sehingga ayat 11b pun tidak berlaku juga.

Lalu apa yang harus ia lakukan? Saya sendiri juga tidak tahu jawaban yang pasti benar 100%. Akan tetapi, jika wanita tersebut mau mengakui kesalahannya di masa lalu (yaitu ketika ia berpacaran kelewat batas dan akhirnya hamil), maka Tuhan pun pasti akan mengampuni dosanya. Persoalannya justru bukan pada dosanya, tetapi pada dampak atau konsekuensi dari dosa yang dahulu ia perbuat. Menurut saya pribadi, wanita tersebut harus melakukan segala cara agar anaknya itu juga dapat ia “rebut” kembali ke dalam jalan Tuhan, bahkan jika ia harus melakukan hal yang tidak ia sukai, seperti hidup bersama dengan suaminya. Akan  tetapi mau tidak mau ia harus melakukan itu sebagai “konsekuensi” atas kesalahannya dulu. Justru jika ia membiarkan saja kondisi seperti ini, ia akan justru semakin berdosa, karena jika sebelumnya mereka “dinikahkan” di gereja, maka di mata Tuhan, wanita dan pemuda itu masih berstatus suami isteri dan mereka tidak boleh bercerai, apapun alasannya (ay. 10a dan 11a).

Wanita tersebut sebaiknya memikirkan bagaimana ia boleh mendidik anaknya dalam kebenaran Firman Tuhan, walaupun ia harus hidup dengan suami yang tidak seiman. Di sini letak ujiannya, apakah wanita tersebut egois atau tidak. Jika ia egois, ia bisa menikah lagi dengan orang lain, tetapi hal itu tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi justru menambah masalah. Jika ia tidak egois, maka ia harus membereskan dampak dosanya, barulah ia boleh menata kembali kehidupannya yang dibangun di atas kehidupan yang baru. Menurut saya, sama sekali ia tidak boleh menceraikan suaminya, bahkan andaikata suaminya menceraikan dirinya pun, maka bagi wanita tersebut berlaku ayat 11a.

Masalah ini memang tidak mudah dimengerti. Butuh hikmat dan ketekunan yang lebih untuk memahami ayat ini. Tetapi saya harap  kita bisa mengerti dan tidak menafsirkan ayat-ayat demi kepentingan kita sendiri. Alangkah lebih baik jika kita tidak main-main dalam hal pasangan hidup. Carilah pasangan hidup yang terbaik sejak awal. Jangan sekali-kali tergoda mencari pasangan hidup yang tidak seiman karena hal itu hanya akan merugikan kita. Belajarlah dari wanita dalam cerita saya di atas, jangan sampai itu terjadi pada kita. Lebih baik menabur kehati-hatian dan kekudusan di awal masa kita mencari pasangan hidup, sehingga kita pun akan menuai hal-hal yang baik di masa yang akan datang.



Bacaan Alkitab: 1 Korintus 7:10-16
7:10 Kepada orang-orang yang telah kawin aku -- tidak, bukan aku, tetapi Tuhan -- perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya.
7:11 Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya.
7:12 Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia.
7:13 Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu.
7:14 Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus.
7:15 Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera.
7:16 Sebab bagaimanakah engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau tidak akan menyelamatkan suamimu? Atau bagaimanakah engkau mengetahui, hai suami, apakah engkau tidak akan menyelamatkan isterimu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.